Skip to main content

Tas Bayi, Dulu dan Kini

Dulu jaman pertama kali saya punya anak (duh kesannya udah seabad lalu ya, padahal umur Mbak Rocker aja baru lima tahun), saya mendedikasikan satu tas khusus untuk membawa keperluannya, tas bayi, atau yang disebut dengan diaper bag. Saya tidak membelinya, tetapi mendapatkannya dari seorang teman sebagai kado saat melahirkan. Saya pikir, ah, bagus juga dimanfaatkan. Maka saya memakainya untuk membawa segala uborampe Mbak Rocker. Isinya bukan cuma popok tentu saja, tapi baju ganti, tisu, minyak telon, selimut, mainan, bahkan bantal kecil. Saat dia sudah makan, ditambah dengan botol air dan kotak makannya. Ke mana pun saya pergi membawa Mbak Rocker, tas ini selalu menyertai, hahaha. Jadi saya bisa merasa tenang dan aman bahwa Mbak Rocker memiliki semua yang dia butuhkan di dalam tas bayi ini. Walaupun jadinya saya ke mana-mana seperti orang yang mau pindahan.

Ketika Si Racun Api lahir, Mbak Rocker masih berusia satu setengah tahun dan belum lulus toilet training. Dia juga msih minum susu dari botol dot. Dengan begitu, dia masih membutuhkan banyak barang untuk saya bisa pergi membawanya dengan tenang. Maka isi tas bayi pun bertambah, untuk satu bayi dan satu balita. Tentunya barang yang banyak membuat tas menjadi berat dan pundak saya pun menjadi encok. Dan lagi, membawa tas besar dengan satu tangan dan dua anak membuat gerakan saya terbatas. Maka saya beralih memasukkan barang-barang bayi ini ke dalam tas punggung agar tangan saya bebas memegang dua anak. Muatan tas tetap banyak karena membawa barang untuk dua anak, namun rasanya malah berkurang dibanding dulu. Saya tidak lagi membawa selusin popok, cukup lima maksimal. Saya tidak membawa tiga pasang baju ganti, cukup satu per anak. Saya juga tidak lagi membawa selimut dan bantal. Yang penting ada susu dan tisu basah. Kalaupun susu habis atau anak-anak minta makanan, saya kan bisa beli.


Sekarang, dengan hadirnya Dik Kwan Im, pergi membawa anak-anak tentunya semakin merepotkan, namun anehnya saya merasa lebih santai dibandingkan dulu ketika anak baru satu. Malahan sekarang saya tidak lagi membawa tas bayi khusus, baik untuk keperluan Dik Kwan Im maupun kakak-kakaknya. Saya hanya menyiapkan pouch kecil berisi satu dua popok dan sebuah onesie, serta tisu bsah dan kering kemasan kecil. Kemudian saya masukkan ke dalam tas apa pun yang bisa saya pakai. Saya membawa satu scarf tipis lebar untuk selimut atau penutup saat saya menyusui. Jika tisu habis bisa juga untuk menyeka gumoh atau muntahnya. Seringnya, itu saja sudah cukup. Bahkan sering tidak terpakai. Saya jadi merasa heran bagaimana dulu saya merasa perlu membawa tas bayi sebesar bagasi kabin, hahaha. Tapi namanya juga belajar, ya. Tentunya semakin banyak anak dan semakin sering bepergian saya jadi semakin tahu apa yang benar-benar perlu dibawa.



Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku