Skip to main content

Berburu SD


Akhir tahun ini ditutup dengan agenda yang cukup serius: mencari sekolah dasar untuk Mbak Rocker.

Sejujurnya saya tidak pernah berpikir bahwa mencari SD untuk Mbak Rocker akan melalui begitu banyak pertimbangan. Dulu saya selalu yakin saya akan memasukkan Mbak Rocker ke SD Negeri yang berjarak jalan kaki dari rumah, selesai. Masalah kualitas pendidikan yang kurang, pergaulan yang tidak sehat dan sebagainya, saya pikir akan bisa kami atasi dengan pendidikan dari rumah. Toh orangtua adalah pendidik anak yang utama. Jika kita percaya agama, orangtua jugalah yang akan dimintai pertanggungjawaban akan pendidikan anak di akhirat nanti, berapa pun mahalnya kita membayar sekolah. Maka saya dulu sering berpikir, what's this fuss about school?

Semakin Mbak Rocker mendekati usia masuk SD, saya jadi memikirkan banyak hal. Pertama, jelas, karena sistem zonasi dan kurangnya sekolah negeri di daerah kami, ditambah lagi banyaknya anak  yang sudah melewati usia sekolah tetapi belum sekolah di sini, maka peluang Mbak Rocker untuk bisa diterima di sekolah negeri adalah nol. Ya sebenarnya bisa saja sih kalau mau pakai surat rekomendasi khusus, secara pekerjaan Mr Defender lebih dari memungkinkan untuk memperoleh selembar surat sakti dari Kepala Dinas Pendidikan atau Inspektur. Tapi, yah, masa iya mau begitu? Selain itu saya lihat walaupun secara sarana prasarana mencukupi, SD negeri rasanya tidak akan menjadi sekolah yang cocok untuk Mbak Rocker.

Iya, saya tahu saya ingin mendidik anak saya dalam inklusivitas, dan masuk SD negeri jelas bagian dari rencana itu. Tapi setelah saya lihat lagi, meskipun secara status sosial dan finansial SD negeri nampak inklusif, namun pembelajaran di dalamnya justru tidak mengajarkan kebhinnekaan, setidaknya dari apa yang saya lihat di SD negeri di lingkungan saya. Hal ini terutama sekali penting bagi kami yang tumbuh di keluarga multiagama. Toleransi beragama itu mutlak harus diajarkan sejak dini, dan kalaupun sekolah tidak sanggup membangunnya, minimal kami tidak ingin sekolah merusaknya.

Yang kedua, saya lihat mungkin karena overflow murid baru dan kurangnya jumlah guru dibandingkan murid, atau mungkin karena tingginya tuntutan administrasi kepada guru-guru PNS, saya melihat guru-guru SD negeri ini sangat kurang perhatiannya kepada murid, bahkan guru kelas satu. Rasanya guru yang saya lihat sekarang cuma mementingkan pelajaran, bukan pendidikan menyeluruh kepada muridnya. Saya ingin anak-anak saya merasakan bonding yang erat dengan gurunya, minimal saat SD, dan sejauh yang saya lihat ini tidak akan kami dapatkan di SD negeri.

Jadi, dengan segala pertimbangan dan pro kontra, akhirnya kami berdua berhasil menyepakati sebuah sekolah untuk Mbak Rocker. Fiuhhh... Semoga saja apa yang kami putuskan berdampak positif ke jangka panjangnya, ya. Dan yang paling penting, Mbak Rocker sendiri senang dengan calon sekolah yang kami pilihkan. 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...