Skip to main content

Berbagi, dan Pemalakan

Apa hubungan berbagi dengan palak memalak ya?

Kedua anak saya yang sudah bersekolah memiliki karakternya masing-masing. Mbak Rocker adalah si gadis manis yang selalu berusaha menyenangkan teman, senang berkenalan dan memiliki teman baru, namun di sisi lain, dia si introvert yang sering merasa lebih nyaman bermain dan makan siang sendiri daripada bergerombol dengan teman. Juga, dia si anak patuh yang selalu melapor pada guru atau pihak yang berwenang jika melihat temannya melakukan sesuatu yang dirasa salah. Si Racun Api, di lain pihak, adalah si bad boy yang populer dan selalu dikelilingi teman dan pengagum yang ingin main dengannya. Dia terkadang ringan tangan dan menggunakan fisik terlalu keras saat bermain, namun teman-temannya selalu menyukainya.

Saya pikir, kedua anak saya tidak rentan menjadi korban bullying atau perundungan, bahkan saya cenderung kuatir si Racun Api akan menjadi si perundung, namun saya salah. Beberapa hari yang lalu ketika mengobrol santai dengan Mbak Rocker, saya baru tahu bahwa Mbak Rocker sering membelikan teman sekelasnya makanan saat istirahat sekolah. Ketika saya bertanya mengapa, dia menjawab bahwa temannya itu meminta dia membelikan ini itu dan karena dia adalah anak yang selalu diajarkan untuk berbagi, tentu saja dia mau. "Aku kan cuma mau berbagi, Bu," katanya.

Cerita yang berbeda datang dari si Racun Api si kupu-kupu sosial, yang saya lihat setiap hari membawa susu kotak sepulang sekolah padahal uang jajannya masih utuh. Ternyata setelah saya tanyai, susu-susu itu adalah pemberian dari teman-temannya yang ingin diajak main olehnya. "Aku tidak minta, Bu, ada yang kasih masa aku gak mau?" tantangnya.

Kedua hal yang berbeda ini membuat saya merenungkan kembali pola pengasuhan saya tentang merundung dan dirundung. Lebih tepatnya tentang berbagi. Apa saya sudah tepat selalu menyuruh anak-anak saya membagi makanan dan meminjamkan mainan miliknya kepada teman? Jangan-jangan ajaran saya malah membuat mereka rawan dirundung karena selalu mau memberikan barang miliknya sehingga dia tidak bisa membela haknya jika suatu saat dirundung? Bagaimana jika kelak di kemudian hari yang diminta bukan makanan, tapi barangnya, uang jajannya? Si Racun Api, di sisi lain, haruskah saya ajarkan padanya untuk menolak semua pemberian temannya? Jangan-jangan, kalau saya ajarkan begitu, dia jadi pelit tidak mau berbagi, karena kan dia juga tidak boleh menerima pemberian, berarti anak lain juga tidak boleh dong?

Hahaha pusing yaaa... Betapa banyak hal yang tidak bisa disikapi hanya dengan satu pendekatan saja.

Bagaimana solusinya di rumah saya? Tidak ada, hahaha. Tidak ada yang saya ajarkan yang berbeda dengan apa yang sudah sebelumnya kami terapkan. Berbagi ya berbagi, jika punya lebih mengapa tidak dibagi, karena pelit juga nggak bikin kaya, Nak, begitulah selalu. Jika itu membuat Mbak Rocker dipalak? Hm, saya percaya anak saya juga tidak bodoh, dia akan mempertahankan dirinya saat dia merasa perlu. Tidak usah mengajarkan anak menjadi pelit dengan alasan supaya dia bisa mempertahankan haknya. Sebaliknya dengan anak yang memperoleh banyak upeti, ya sudahlah itulah rezekinya punya wajah tampan Nak, setengah masalah hidupmu akan selesai. Begitulah hidup memang tidak adil, syukuri saja kepopuleranmu asalkan jangan lupa untuk juga gantian berbagi. Ya sudah, begitu saja. Daripada pusing menanamkan nilai-nilai baru.

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku