Skip to main content

Kurikulum


Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat.

Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cukup sering mendapat cerita keluh kesah teman-teman saya soal kehidupan berumah tangga dengan berbagai ragamnya: lika-liku suami, mertua, anak-anak, hingga keuangan dan orang ketiga. Dari yang receh hingga yang harusnya merupakan jatah paroki atau pengadilan agama. Cerita teman saya yang ini, menurut saya adalah yang cukup serius dan tidak bisa diselesaikan dengan doa dan sabar semata. Namun, saya tahu dia tidak akan pernah mau melakukan yang lebih dari curhat pada saya. Mengajak suaminya bicara dengan serius, misalnya. Ya sudah. Peran saya di sini cuma menyediakan telinga dan hati selebarnya. Jika itu bisa meringankan bebannya, ya syukurlah.

Selalu ada sedikit sesak di dada setiap kali saya membaca atau mendengar cerita darinya. Kata orang, hidup itu adalah proses pembelajaran sepanjang hayat, di mana semua orang punya silabus berbeda sesuai dengan takaran kemampuannya. Namun apa yang dialami sahabat saya, seharusnya adalah jatah belajar untuk waktu yang sedikit lebih lama, bukan kurikulum yang sesuai untuk usia semuda dia. Bahkan kisah rumah tangganya bagi orang lain mungkin tidak akan ada di dalam kurikulum hidupnya. Ah, semesta.

Entah bagaimana semesta memilah apa yang seharusnya kita pelajari, entah bagaimana dia memilih siapa harus belajar apa dan entah berapa lama. Namun tetap kita bisa memutuskan apakah ingin tetap di kelas atau pergi. Dan kita juga yang punya kuasa untuk berjuang hingga lulus.

Ah.

Saya meraih ponsel dan mengetikkan sebaris kalimat sebagaimana saya selalu memulai dengan dia: sahabatku, aku mencintaimu, dan apa pun keputusanmu aku selalu mendukungmu...

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita