Skip to main content

B.A.H.A.G.I.A.

gambar dari sini

Tentang Hal-Hal Kecil
Ternyata, memang hal-hal kecil yang paling bisa membuat hari menjadi indah. Minum susu cokelat yang enak sampai tetes terakhir, mencicipi kue lapis Surabaya yang enak (kok makanan semua ya?), mandi air hangat dari shower (alhamdulillah, ada enaknya juga tidur di hotel), merasa cantik ketika bercermin, menatap jalanan yang sepi di pagi hari dari jendela mobil sambil berkendara setengah jam, lalu menemukan hal-hal kecil yang menarik perhatian. Anak kecil berseragam batik Kaltim dengan tas Cars yang terlalu besar, penjual bakpau hangat di emper toko, tukang sapu yang membersihkan taman kota. Entah bagaimana, semuanya menimbulkan rasa hangat di hati. Lalu sesampainya di kantor, tersambung dengan internet, melihat foto-foto langit rasa vanilla di flickr, mendapat sms-sms manis dari teman-teman. Menyenangkan. Aku senaaaang :)

Tentang Rasa
Perasaan itu, ternyata bisa ditipu. Saat merasa sedih, saat merasa sendiri, saat merasa semua sepertinya meninggalkan kita (dan bahkan Tuhan juga), lalu kita tersenyum, lalu kita meraih toples berisi Chitato dan menyalakan televisi, menonton beberapa film di HBO (semalam saya marathon The Ugly Truth, When In Rome, dan Couple's Retreat, serangkaian film yang kebetulan romantis) berbaring sambil memerintah tubuh kita 'rileks, rileks' maka perasaan kita akan membaik dan melupakan warna kelam yang tadi menyelimutinya. Walaupun seorang teman pernah bilang, orang yang bahagia nggak akan bilang 'aku bahagia' atau sekedar bertanya 'apakah aku bahagia'. Yang pertama adalah semacam penyangkalan, dan yang kedua adalah tanda bahwa dia sudah tidak bahagia. Saya percaya itu. Tapi saya juga percaya bahwa berusaha untuk terlihat bahagia bukan sekedar manupulasi, tapi juga wujud rasa syukur, pasrah, penerimaan. Ah, entahlah. Yang jelas, saya memilih untuk mencoba bahagia.

Tentang Prioritas
Akhirnya saya menyerah. Akhirnya saya sadar bahwa, walaupun ada seorang perempuan yang bisa menjadi cantik, pintar, menyenangkan, religius, anak baik-baik dari keluarga bahagia, punya hubungan yang mengagumkan dengan suami/pacar, sukses dalam pekerjaan, punya teman-teman yang menyenangkan dan bervariasi (mungkin teman main tenis, teman fitness, teman dari klub fotografi, teman ke salon dan sebagainya), dan sepertinya bisa melakukan segala hal, mulai dari menyanyi dengan skor 99 di Happy Puppy sampai memasak kepiting saos Padang, tapi, saya tidak akan bisa menjadi perempuan itu. Saya tidak bisa melakukan segala hal atau menyenangkan semua orang. Saya tidak bisa menjaga semuanya selalu seimbang dalam komposisi yang sama. Saat saya memutuskan untuk menjadi anak yang baik bagi orangtua saya dan kakak yang baik bagi adik-adik saya, saat itu mungkin saya menjadi teman yang mengabaikan sahabat terbaiknya. Saat saya memutuskan untuk menjadi yang terbaik dalam pekerjaan saya, saat itu saya mungkin mengurangi perhatian saya kepada pasangan, dan saat saya berusaha menjadi teman dan pacar yang baik secara seimbang, mungkin, saya menelantarkan diri sendiri. Saya harus memilih. Harus merelakan, harus mengorbankan. Tapi, walaupun tidak akan mungkin seimbang, saya akan berusaha, melakukan yang terbaik, memberikan yang terbaik, walaupun bagi mereka, mungkin bukan yang terbaik.

Tentang Mencintai Diri Sendiri
Udik, sahabat yang sudah seperti adik sendiri, pernah bilang bahwa kunci kebahagiaan adalah, jangan terlalu banyak memikirkan orang lain. Jangan pernah berpikir bahwa kebahagiaan atau kesedihan orang lain adalah tanggung jawab kita. Pilihlah yang terbaik, pilihlah apa yang benar-benar diinginkan dan buanglah sisanya, jangan pernah khawatir apa yang kita lakukan mungkin membuat orang lain sedih atau bahagia. Kebahagiaan setiap orang adalah tanggung jawabnya masing-masing. Dan kalau kita terlalu banyak berpikir, kita tidak akan ke mana-mana. Walaupun terdengar egois, tapi memang, kebahagiaan kita adalah yang terpenting (jika kamu memilih bahwa kebahagiaanmu adalah melihat semua orang bahagia, maka itulah yang terpenting). Dan ingatlah bahwa, orang-orang yang benar-benar mencintaimu akan bahagia melihatmu bahagia.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku