Skip to main content

Hatiku Membiru

gambar dari sini

Tadi, saya membaca sebuah notes permintaan maaf yang saya temukan ketika membuka kembali facebook saya setelah sekian lama.

Saat membaca ini, ada sesuatu yang menyentuh perasaan saya. Sesuatu yang kurang lebih sama persis dengan yang saya rasakan ketika saya menulis notes itu. Perasaan yang kurang lebih sama dengan yang saya rasakan sekarang, rasa bersalah dan sesal kepada teman-teman, pekerjaan, rekan kerja, keluarga, pasangan, dan bahkan, kadang, pada diri sendiri.

Saat ini, saya merasa tertinggal dalam banyak hal, dan seperti dulu saat saya menulis notes ini, rasanya sulit mengembalikan spedometer semangat saya ke puncak, seperti yang saya alami saat pertama kali saya terbang ke Samarinda. Saat itu, perasaan semangat untuk tinggal sekota dengan pasangan, mulai bekerja setelah lulus kuliah, bertemu dengan salah satu sahabat yang tinggal di kota tetangga, kota baru, menemukan teman-teman dan petualangan baru sangat menguasai saya. Saya ingin melakukan banyak hal, saya membuat agenda dalam hati saya.

Sekarang, sebulan dari saat itu, lihatlah betapa saya berada di titik yang jauh dari harapan. Pekerjaan, yang langsung menyambut saya dengan keras, tidak begitu maksimal dapat saya kerjakan. Saya kecewa, merasa lemah, dan lebih dari semuanya saya merasa bersalah. Saya, yang membuat janji pada diri sendiri untuk mencari teman baru, ternyata karena tidak semudah itu beradaptasi, menjadi sangat tergantung pada pasangan, yang akhirnya membuat saya frustrasi. Kota tempat tinggal sahabat saya, yang jauhnya hanya tiga jam perjalanan, terasa sangat jauh untuk dikunjungi setiap minggu, dan saya selalu kesulitan menemukan jadwal untuk menemuinya. Sepeda saya, kamera saya, kertas-kertas dan kain flanel yang biasanya menjadi pelampiasan kesuntukan saya, sama sekali tidak menggerakkan tangan saya untuk meraihnya. Saya selalu pulang dengan kelelahan, bahkan hanya untuk sekedar memasak makanan sehat untuk diri sendiri.

Saya lelah. Juga karena meskipun tinggal sekota, namun pekerjaan saya dan pasangan membuat kami tak bisa bertemu sebulan ke depan. Saya sedih, tapi saya bisa apa? Hidup ini keras, dan harus dijalani. hidup tidak ramah pada mereka yang lemah dan mengeluh.

Maaf, kali ini bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk seseorang yang penuh semangat di dalam diri saya, yang saya selalu membunuhnya, berkali-kali.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku