Skip to main content

Keseimbangan


Ternyata ya, saya nggak bakat jadi wanita karir, apalagi yang workaholic. Sama sekali.

Ternyata ya, saya nggak cocok jadi auditor. Nggak sedikit pun.

Duh, pengen nangis bombay rasanya. Pengen jadi ibu rumah tangga aja, tapi bagaimana mungkin, berumah tangga saja aku sulit. Lagipula tugas ibu rumah tangga kan juga berat, belum tentu nanti rasanya lebih menyenangkan dibandingkan jadi wanita bekerja.

Padahal ya, rasanya, menjadi wanita bekerja itu impian saya sejak masih kanak-kanak. Dan menjadi auditor itu cita-cita saya sejak kuliah semester pertama. Sekarang, saya rasa saya mulai membenci pekerjaan saya. Benci tidur sebulan penuh di hotel, kerja pagi pulang malam, berinteraksi hanya dengan teman satu tim, tanpa kesempatan ngopi-ngopi cantik atau ngerumpi dengan teman-teman dekat walau di hari Sabtu Minggu. Apalagi kalau kota tempat penugasannya terpencil, lengkap sudah penderitaan. Seminggu pertama masih berasa piknik, minggu kedua mulai bosan dan minggu keempat sudah tak sabar pulang. Pergi tugas ke luar kota selama sebulan itu sama sekali tidak menyenangkan buat saya, kenapa? Karena perginya bukan sama keluarga, pasangan, atau teman sehati sejiwa. Tidak menyenangkan rasanya bekerja dengan tekanan, jauh dari semua orang di kehidupan sosial kita. Rasanya jauh lebih baik kerja lembur di kantor tapi begitu pulang, atau di akhir pekan, bisa memberi makan jiwa kita dengan jalan-jalan atau sekedar ngobrol dengan teman-teman terdekat.

Ternyata, saya tidak siap mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dan besar saya, seperti nonton setumpuk dvd malam-malam sebelum tidur, jogging pagi di hari Sabtu, merawat diri di salon, kumpul sama teman-teman, dan kencan dengan pasangan, demi karir.

Dan tahun ini, di tahun pertama saya bekerja kembali di kantor, saya sudah membulatkan tekad untuk mengajukan pencabutan jabatan fungsional auditor. Saya akan menjadi staf bagian apa saja, apa pun tugasnya, mungkin hanya menjawab telepon atau mencatat surat masuk, dan saya berjanji akan menjalaninya segembira mungkin. Walaupun bagi banyak orang aneh, biarlah. Mungkin saya sudah sampai pada titik di mana saya merasa bahwa apa yang saya korbankan dengan tidak menjadi auditor lebih kecil daripada apa yang harus saya korbankan dengan tetap menjadi auditor.

Dan saya sangat bahagia karena sekali ini, orang tua saya, setelah banyak sekali keputusan saya yang tidak mereka dukung, untuk hal ini mendukung sepenuhnya. Ayah saya bahkan berkata bahwa tidak ada pekerjaan yang jelek, tidak ada pekerjaan yang rendah, selama kita memberikan yang terbaik.


Ini memang keputusan yang aneh, kalau saya menengok empat tahun ke belakang. Saya menjadi tepat seperti yang saya inginkan bertahun-tahun yang lalu, tapi ternyata, sekarang saya tidak menginginkannya lagi. Dan walaupun sekarang saya mulai membayangkan seperti apa pekerjaan yang saya inginkan di masa depan, mungkin saja kelak saya tidak menginginkannya lagi, atau ternyata pekerjaan itu tidak semenarik yang saya bayangkan. Tapi, mungkin memang begitulah manusia. Bukan tak pernah puas, hanya saja, saya, seperti juga orang lain, terus berubah, hingga apa yang hari ini begitu menarik, besok terasa membosankan.

Yah, tapi memang begitulah hidup kan? Seperti menaiki sepeda, agar keseimbangan tetap terjaga, kita harus terus mengayuhnya.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...