Skip to main content

Julie, Julia


Salah satu hal yang dulu di Jakarta selalu saya lakukan tetapi sekarang tidak lagi, adalah memborong dvd (bajakan) di Mangga Dua atau Ambassador. Sekarang saya tidak lagi melakukannya, bukan hanya karena di Samarinda harga satuan dvd bajakan mahal, tapi juga karena saya sibuk menonton film-film di HBO (yang juga dari tv kabel bajakan). Saya suka karena HBO memutar film yang sama beberapa kali dalam seminggu pada jam yang berbeda-beda, jadi jika saya tidak sempat menonton di hari Selasa, saya bisa menontonnya di hari Rabu, dan jika saya belum puas, bisa menontonnya kembali di hari Sabtu.

Film yang terakhir saya suka, adalah Julie and Julia. Film tentang seorang PNS bernama Julie Powell yang merasa kehidupannya datar dan begitu-begitu saja, lalu menemukan kesenangan baru dengan sebuah proyek: mencoba semua resep dalam buku Julia Child (mungkin obsesifnya dia terhadap Julia adalah satu-satunya passion dalam hidupnya), seorang juru masak terkenal berumur 90 tahun yang dikagumi Julie, dalam jangka waktu setahun, dan menuliskannya dalam blog. Kisah pontang-pantingnya Julie ini diseling dengan flashback kehidupan Julia Child di masa lalu, yang ternyata tak selalu seindah dan semulus yang disangka Julie sebelumnya.

Karena saya memang tidak sedang membuat resensi atau sinopsis cerita film ini, maka saya akan menulis poin-poin yang saya suka dari film ini:
  • Kepribadian Julia Child, yang sangat-sangat menyenangkan, positif, baik hati, optimis, membuka diri pada semua kesempatan, yang bisa membuat semua orang jatuh sayang padanya, walaupun secara fisik dan penampilan dia tidak terlalu menarik. Saya langsung ingin menjadi Julia Child, sama seperti Julie Powell.
  • Julia Child dan Julie Powell ternyata dua orang yang benar-benar ada, blog Julie/Julia Project benar-benar ada, buku Mastering The Art of French Cooking benar-benar ada, Paul Child, suami Julia yang sangat suportif dan Eric Powell, suami Julie yang sangat pengertian dan penyayang itu benar-benar ada! Mengagumkan!
  • Cerita film ini sungguh sederhana, sederhana bukan dalam arti klise atau mudah ditebak, tapi tentang orang yang sederhana, mimpi yang sederhana, kehidupan yang sederhana. Bukan tentang menyelamatkan dunia atau menjadi superstar terhebat di dunia, tapi tentang hal kecil, yang dilakukan dengan penuh cinta, dan betapa impian kecil bisa sangat berarti bagi seseorang. Dan hidup butuh tujuan walaupun kecil, orang butuh hal yang benar-benar dia suka melakukannya, agar saat hal-hal lain dalam hidup menjadi kacau, dia bisa melarikan diri ke dalamnya.
  • Memiliki pasangan hidup yang mencintai kita dengan seluruh hatinya, seperti suami-suami Julie dan Julia, adalah anugerah yang sangat luar biasa, itu adalah hal yang terbaik yang bisa terjadi dalam hidup seseorang, itu adalah hal yang benar-benar bisa menghapus kesedihan dan kekecewaan atas apapun (seperti kesedihan Julia yang tidak bisa memiliki anak atau keputusasaan Julie terhadap pekerjaan dan hidup yang begitu-begitu saja).
Oh ya... satu lagi:
  • Blogging ternyata bisa berbahaya kalau atasan kita membaca blog kita, dan kita menulis tentangnya :P
Setelah selesai menontonnya (dua kali dan kemungkinan masih akan nonton lagi minggu ini) saya jadi bersemangat lagi untuk memasak :) Walaupun tidak ada suami yang harus dibuatkan makan malam, rasanya menyenangkan juga ide membeli satu buku dan mencoba semua resepnya dalam setahun seperti yang dilakukan Julie (walaupun mungkin tidak sempat menuangkan semuanya dalam blog). Ada ide buku apa yang patut dicoba? Yang cukup tebal, beragam, lengkap dari sambel sampai kue, dan ditulis oleh chef terpercaya. Apa ya?

Comments

  1. Hai...blogwalking, dapet link ini dari blog hujan di atas meja. Btw film Julie & Julia juga film favoritku, all time favorite malah..^^

    ReplyDelete
  2. heiii... makasih ya udah mampir... iya,, aku nonton sampai berkali2 ga bosen2... aku malah jd googling ttg julia child trus baca blog the julie/julia project, he3. meryl streep mirip bgt ya sama julia yg asli...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku