Skip to main content

Hujan Bulan April


Saya tidak menyangka hari ini akan berakhir sebagai salah satu hari paling indah sepanjang bulan April tahun ini.

Saya lelah. Kaudengar itu? Seharian aku mengukur tangga, atas bawah, atas bawah, dan sekarang seharusnya saya sedang berbaring di atas tempat tidur yang spreinya baru diganti, biru lembut dengan wangi lavender. Mungkin ditemani Olivia Ong atau Adelle, juga setumpuk novel lama yang mengajak bernostalgia. Seharusnya ada limau plum buatan sendiri di meja itu, mungkin dengan satu dua lumpia. Tapi saya malah ada di sini, padahal udara dingin dan hujan akan segera turun.

"Pak, kita ini mengejar pesawat!" protes laki-laki di sebelahku. Sejak tadi dia hanya melakukan dua aktivitas: memandangi jam tangan dan mendesah. Akhirnya, dia tak tahan juga dan menambahkan berteriak sebagai aktivitasnya.

Pengemudi itu tersenyum, seperti meminta maaf, lalu menyalakan mesin dan kami pun berdelapan meluncur, merayapi jalan yang mulai licin. Oh, hujan rupanya sudah turun. Dan jalanan macet.

Hotma Roni berbisik padaku, 'dan lalu...' Oh sial, saya jadi merasa kesepian. Dan sekarang layar 21 inchi itu memutar Alice in Wonderland. Saya membayangkan kisah itu ceria, warna-warni, tidak suram. Dan Alice itu cantik imut, bukan sok seksi seperti di film ini. Film ini membuat saya sakit kepala. Dan di luar hanya gelap. Hutan tropis di waktu malam, tanpa satu pun kunang-kunang.

Dua jam, tiga jam, lambat sekali lajunya karena jalanan licin. Adhitia Sofyan menghibur, let me be the gold and I will put the shine on you, katanya. Pelan-pelan saya tertidur. Dan terbangun ketika lampu-lampu kota sudah mulai nampak. Hutan belantara telah terlewati. Dan sinyal operator sudah kembali. Saya mengambilnya dari saku. Satu-satunya cara kita saling terhubung beberapa minggu ini.

Ada pesan darimu. "Aku sudah di sini, Cah Ayu." Tapi saya sudah terlalu lelah untuk merasa bersemangat. Mengapa harus selalu saya yang bermain sirkus dengan waktu?

Ketika kami membelok dan memasuki pelataran tempat yang sama-sama kita akrabi, kamu menyambut saya dengan senyum. Hujan masih rintik-rintik yang tak reda-reda. Kita menepi di kedai yang dari luar tampak tak menjanjikan, namun dari sana sayup-sayup kita mendengar sebuah band memainkan Home dari Michael Bubble dengan petikan gitar yang jernih dan sempurna. Maka kita pun masuk ke dalamnya, walaupun saya tidak lapar.

Kamu memesan segelas kopi dan makan malam. Saya cukup segelas soda susu. Dan kita memang tidak salah. Band ini luar biasa untuk kelas kedai yang harga makanannya tiga sampai dua puluh ribu. Mungkin mereka main untuk bersenang-senang, katamu.

Kita tidak mengobrol, saya masih lelah. kamu menghabiskan makan dalam diam. Satu band lain mendapat giliran. Dan kita mendengar hentakan musik latin. Easy. Saya terpesona. Kamu memegang tangan saya. Terasa nyaman walau dalam diam. Mungkin rasa benar-benar bisa berbicara, saya melirik penuh kemenangan pada Hotma Roni.

"Jangan marah," katamu. Saya masih diam. Sesungguhnya mata saya mencari-cari seseorang dalam mata vokalis itu. Di suaranya ada Enrique Iglesias. Di wajahnya ada seorang sahabat dari masa lalu yang saya rindu. Di bahasa tubuhnya ada seseorang entah siapa, saya coba ingat-ingat namun kenangan itu memburam. Kini dia menyanyikan Madu Tiga, masih dengan swing dan tabuhan cajoon penuh semangat dari sang drummer berponi lempar.

"Somehow someday we will find a way." Saya tidak tahu sungguhkah saya mendengarnya darimu. Saya merasa seperti Alice dalam chapter di mana dia menangis hingga air matanya menjadi sebuah kolam dan dia dapat berenang di dalamnya. Saya sungguh butuh jeda, sebentar saja. Kadang saya sungguhan ingin menenggelamkan diri dalam kolam dan bangun dari mimpi ini dengan tubuh bugar. Apakah ini nyata? Apakah ini mimpi? Mengapa burung gagak seperti meja tulis? Hatter mengedipkan mata, menggerakkan kelima jari tangannya, menggoda.

Oh, Maria Maria.

Tabuhan cajoon semakin menghentak. Dan saya tersesat. Sungguh saya tak boleh membiarkan diri terlalu lelah, atau saya akan menjadi putus asa.

See mi y Maria on the corner.
Thinking of ways to make it better.
In my mailbox there's an eviction letter.
Somebody just said see you later.


Sosok dari dalam mata itu nampak berenang-renang. Hei, dia pun ada di kolam saya. Ditariknya saya menepi, wajahnya muncul dari dalam gelap. Wajahmu.

Adakah yang lain? Tempat berteduh hati kala biru?

"Somehow someday we will find a way." Sekarang kata-kata itu terasa nyata di telinga. Saya tersenyum. Mungkin saya hanya terlalu rindu. Dan lelah.


"Kita pergi sekarang?"


"Masih hujan."


"Nggak apa-apa. Ada hairdryer untuk mengeringkan rambutmu."
Ahora vengo mama chula mama chula. Ahora vengo mama chula mama chula.


Saya tersenyum menyambut tanganmu. Kita harus berjalan. Lagi.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku