Skip to main content

Mencintaimu Apa Adanya (?)



Dulu, saya pernah menulis di sini tentang komitmen itu nonsense, hahahaha. Sekarang, karena beberapa obrolan dengan teman dekat dan beberapa tulisan yang menarik di dunia maya dan media sosial, saya jadi tergelitik untuk menulis tentang menerima pasangan kita secara apa adanya, benarkah ada?

Seorang teman pernah bilang, bahwa nggak ada yang namanya cinta yang menerima apa adanya. Ada sih, tapi itu Bruno Mars doang kali ya, hahaha... Bapak saya juga pernah bilang sambil bercanda bahwa kalau saat pacaran, kalau pacarnya jatuh bakal dibilang "hati-hati ya sayang..." tapi kalau sudah lama menikah bakal "kalau jalan lihat-lihat dong..." hahaha intinya, segala kekurangan yang nggak tampak di saat kita masih dimabuk kemesraan, nantinya akan terlihat saat kita sudah hidup bersama dan menjejak tanah alias menghadapi kenyataan. 

Kata seorang teman yang lain, hal itu sah-sah saja, misalkan kita berubah demi pasangan atau ingin pasangan kita berubah sesuai ekspektasi kita, selama itu menjadikan kita orang yang lebih baik. Misalkan pasangan yang malas trus kita berhasil ubah jadi rajin, good for you then. Toh mengubah diri menjadi lebih baik atau untuk membahagiakan pasangan (atau biasa dibahasasopankan dengan berkompromi) adalah bentuk cinta, begitu lanjut pendapat si teman.

Dia lalu bertanya, kami sendiri bagaimana? Setujukah dengan dia (dan pendapat yang diterima umum)

Saya? Saya bersyukur bahwa andaikan kata-kata bapak saya benar, berarti saat ini saya dan Mr Defender masih dimabuk kemesraan, hahaha. Saya sendiri sih, (nggak tahu Mr Defender ya) nggak pernah tuh ingin mengubah orang lain. Dan itu termasuk (atau terutama) orang yang saya cintai. Saya nggak pernah punya mimpi mengubah apa pun dari Mr Defender, baik itu hal-hal besar seperti pandangan hidup maupun hal-hal kecil semacam kebiasaannya mendengkur. Soal yang terakhir, terganggu sih iya, tapi ya sudah mau gimana lagi.

Hm.. ikhlas, pasrah dan males itu batasnya tipis ya? Hahahahaha.

Apakah saya mencintai dan menerima Mr Defender apa adanya? Ya, ya, dan YA! Setidaknya sampai saat ini begitu, dan saya bahagia dengan itu. Apakah saya berkata begini karena kami punya kesamaan dalam segala hal? Tentu tidak! Bahkan pandangan kami tentang cara mendidik anak saja beda. Saya rasa, pada akhirnya kami hanya harus tahu kapan harus mengalah dan siapa yang harus mengalah. Apakah ini juga artinya berkompromi? Tentu, tapi tidak dengan saling mengubah satu sama lain. Misal: saya yang kadang-kadang OCD sama kebersihan dan kerapian melihat Mr Defender dengan seenaknya menaruh handuk bekas pakai di lantai kamar, ya sudah saya ambil aja handuk itu dan move on. Jadi saya jemur handuk itu dan hidup bahagia selamanya.  I don't sweat small stuffs. 

And what about the big stuffs? Hm, entahlah, rasanya sih saya baik-baik saja dengan segala yang ada pada Mr Defender, baik yang saya suka maupun yang saya (nyaris) tidak tahan. Mungkin karena saya memilih pasangan dengan prinsip take it or leave it atau lebih tepatnya lagi take me as I am or watch me as I go :D jadi dalam hubungan kami (rasanya) belum pernah terjadi tuh saya memprotes pilihan model rambut atau cara beribadah Mr Defender. Nggak ada juga ceritanya dia melarang saya memakai lipstik warna tertentu atau menentukan dengan siapa saya harus bergaul. We simply accept each other as what we are, just like Bruno Mars' song.

And I think it's a good thing. Jadi maaf ya, teman-teman dan bapakku sayang, kali ini saya terpaksa tidak setuju dulu dengan kalian :D



P.S. Mr Defender bilang: trus kalau segitu banyaknya yang pengen kamu ubah dari orang itu, apa dong yang sebenernya kamu suka dari dia dulu?
Well, it's really something to think about, man!

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku