Skip to main content

Snowflakes


Are you raising snowflakes? 

Snowflakes kids, millenial snowflakes... keluhan yang sering kita dengar sekarang ini tentang generasi muda zaman sekarang. Banyak teman saya yang sering mengeluhkan anak-anak fresh graduate di kantor mereka yang mirip-mirip sindiran Kaka dan Bimbim di Mars Slankers: tahu sedikit ngakunya sudah paham, kerja sedikit maunya kelihatan. Belum lagi kabarnya mereka mudah sekali terluka harga dirinya jika hasil kerja atau karyanya kurang dihargai, tidak bisa menerima masukan, dan menganggap semua kritikan profesional secara pribadi alias baperan. Intinya, they are snowflakes, mudah ambyar.

Tentu saja tidak semua millenial begitu ya. Tetapi yang namanya stereotip juga tidak muncul dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya introspeksi diri, mengapa generasi muda sekarang disebut snowflakes? Dan bagaimana kita sendiri sebagai orangtua? Apakah juga akan membesarkan snowflakes lainnya?

Sebagian besar dari generasi saya saat ini, dan juga generasi yang menjadi orangtua para snowflakes ini, umumnya dibesarkan oleh orang tua yang kompetitif dan otoriter. Yang menganggap anak selamanya adalah anak, yang harus memenuhi ekspektasi orangtua, yang dituntut berprestasi dalam banyak hal, tumbuh dengan berbagai aturan dan kekakuan, serta dalam perbandingan dan target ini itu.

Kebanyakan dari kita, ketika tumbuh mendewasa, berjanji untuk tidak akan mengulangi pola asuh orangtua kita. Semua orangtua tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Mereka yang dulu lelah dituntut berprestasi akademis dan selalu dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya mungkin akan menyisakan sedikit luka dalam hati, dan berjanji untuk selalu mengapresiasi (baca: memuji setinggi langit) apapun pencapaian anaknya dan menghiburnya saat dia kecewa (mungkin diam-diam memberikan hadiah hiburan saat si anak gagal membawa pulang piala juara). Mereka yang muak dipaksa melakukan hal yang bukan minatnya akan berjanji menebus masa lalu dengan membiarkan anaknya kelak melakukan apapun yang mereka kira mereka suka, seabsurd apapun itu.

Seakan-akan kita ingin kembali ke masa lalu dan mengubahnya menjadi lebih baik melalui perantaraan anak-anak kita. Dan tentu saja itu sama tidak sehatnya dengan orangtua kita yang mencekoki kita bermacam les karena dulu orangtua mereka tidak punya sumberdaya untuk memberikan mereka semua les yanh mereka yakin akan berguna itu.

Begitulah, semua orang punya rindu dendamnya sendiri. 

Dan dendam masa kecil kita mungkin akan  atau telah menghasilkan some snowflakes yang merasa diri unik dan spesial. Special snowflakes. Bukannya merasa spesial itu salah ya, we are all a someone but anyone is someone too. Kita tidak se-spesial itu, sungguh. Oleh karenanya wajar kalau kita gagal, kalah, tidak menjadi yang terbaik. It's completely okay.

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku