Skip to main content

Tunggulah

hari itu ku mengingat hari ini
saat tebak yakinku ini pasti terjadi
hari di mana tanah langit juga samudra kabut pagi menyaksikanku
merekalah saksi menyaksikanku mati
(Akulah Ibumu, FSTVLST)

Beberapa hari yang lalu dunia, khususnya para penggemar KPop dikagetkan dengan meninggalnya Goo Hara, setelah selang sebulan sebelumnya Choi Jinri atau Sulli juga mengakhiri hidupnya. Banyaknya kasus bunuh diri di kalangan KPop Idol memang membuat kabar seperti ini seakan hanya another suicide on the news, tetapi mereka yang merasa dekat dengan idolanya pasti akan terguncang, seperti para penggemar musik pop 80-an merasa sedih saat Michael Jackson meninggal.

Bagi saya yang bukan penikmat KPop, berita ini juga menyisakan selarik perih lebih karena penyebab meninggalnya Goo Hara (dan Sulli dan banyak KPop idols lainnya). Ditinggalkan seseorang karena bunuh diri berbeda dengan ditinggalkan karena usia tua, sakit, bahkan kecelakaan mendadak. You just can't easily recover from the experience. Maybe you could never.

Saya memiliki beberapa anggota keluarga besar yang meninggal karena bunuh diri. Salah satunya yang terakhir, seorang sepupu yang cukup dekat dengan saya, yang meninggal di awal tahun ini. Duka kematian sepupu saya ini sangat mendalam khususnya bagi kedua orangtuanya dan juga bagi ibu saya yang mengasuhnya selama sepuluh tahun ketika kecil.

Saya rasa, ibu saya dan pakde bude saya tak henti bertanya, mengapa. Memang hidup sepupu saya jauh dari kata baik-baik saja. Pernikahannya gagal. Dan seminggu sebelumnya, ia baru saja ditinggalkan anak bungsunya yang meninggal karena kanker darah. Tetapi, mengapa? Tidakkah kami, keluarganya, juga anak sulungnya memberinya cukup alasan hidup? Mengapa memilih pergi?

beratnya kabut itu seberat rinduku
di dinginnya pagi itu ku panggil lagi kau 

Cukup aneh namun, bahwa di antara keluarga besar tidak ada yang benar-benar marah atau menyalahkannya. Tidak ada yang berfatwa bahwa sepupu saya akan masuk neraka karena mendahului kuasa Tuhan. Tidak ada juga yang bilang bahwa dia kurang mensyukuri hidup, bahwa banyak orang yang hidupnya lebih berat namun tetap bertahan. Tidak ada yang menuduhnya lemah karena tidak mau bertahan demi anaknya yang lain.

Tidak ada, dan itu sesungguhnya cukup langka terjadi, di mana pelaku (atau korban?) bunuh diri tidak dihakimi. Kami semua seakan maklum bahwa dia memang memilih pergi. 

jika saja menjadi tiada adalah satu satunya cara
menggapai sadarnya meraih harapnya
mengelus tangisnya dan sesalnya
saat ku tiada jadilah ku ada
di dalam kejamnya samudra
debu tanah langit luas megah kabut pagi

Bukan berarti kami tidak sedih. Bukan juga berarti kami tidak menyalahkan siapa pun. Sebagian besarnya, kami menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan diri kenapa tidak ada di sana untuk menyelamatkannya. Menyalahkan diri karena tidak cukup hadir di saat-saat paling rapuhnya. Tidak menawarkan bantuan dan kebersamaan. Bertanya-tanya apakah keadaan bisa berbeda seandainya kami lebih memperhatikannya, lebih meluangkan waktu untuknya.

Saya yakin ibu saya akan menyesali dirinya untuk waktu yang cukup lama. Ibu saya bahkan bilang, alhamdulillah mbah sudah pada nggak ada, jika masih ada alangkah sedihnya mereka.

Iya, biarlah cukup kita yang masih ada di dunia yang menanggung sedih.

Cukup lama saya ingin menuliskan proses berduka ini, untuk menormalisasi perasaan ini agar tidak terlalu menyakitkan, tapi selalu tidak bisa. Mungkin memang tidak akan ada yang normal dari peristiwa ini. Mungkin selamanya kekagetan dan kesedihan ini tidak akan terlupakan, bahkan meskipun kita mencoba ikhlas. Dan hati saya juga mungkin tak akan pernah berhenti bertanya. Mengapa tidak pernah mengatakan apa pun? Mengapa tidak minta tolong? Mengapa tidak sekedar berpamitan? Mengapa memutuskan tanpa berkata-kata atau menuliskan pesan perpisahan? 

Tapi bisakah saya menyalahkan sepupu saya untuk keputusan yang diambilnya? Dan jika pun saya punya kesempatan, apa iya saya bisa mencegahnya untuk bunuh diri? Banyak orang bilang bunuh diri itu tindakan pengecut. Apa iya? Memutuskan untuk mengakhiri hidup sementara dia tidak tahu apa yang menunggunya di alam sana, apakah iya itu pengecut? Saya rasa butuh keberanian besar untuk memutuskan mati, khususnya jika kamu dibesarkan dalam konsep yang meyakini bahwa mereka yang bunuh diri akan masuk neraka.

jejak kakiku belum sampai yang tertuju 
gemilang sejarahku hanyalah menara debu
tanah indah yang kau tuju menyambut pijakmu
batu panjang capaimu bertuliskan namamu

Jika sepupu saya (dan mereka yang memutuskan bunuh diri) percaya bahwa ia akan masuk neraka, tapi tetap memutuskan bunuh diri, bisakah terbayangkan seperti apa hidupnya? Mungkin lebih mengerikan dari neraka. Seperti apa itu, saya tidak bisa membayangkannya. Saya selalu berharap punya waktu dan kesempatan untuk mencegah sepupu saya, tapi andaikan waktu betul bisa diputar kembali, apa yang akan saya katakan? Saya sering memutar percakapan imajiner dengannya, apa yang akan saya ucapkan dan bagaimana ia akan meresponnya.

Hidup ini indah? Are you kidding me, cousin? Maybe your life is, but mine is sure not.
Masih banyak hal yang bisa disyukuri dalam hidup ini. Really? What exactly I should be thankful for? My marriage? My child? My dead child, mind you? My career, or should I say lack thereof? My broken family? My non existing friend? What?
Banyak orang yang menyayangimu. But my wife doesn't.
Tapi kami menyayangimu... Don't lie! I know you always think I am embarassing this family.
Kami menyayangimu. Even God doesn't love me. Otherwise He won't take so much from me. Just let me go, won't you?

Dan terus dan terus. Bagaimana pun saya memainkan adegan itu, sepupu saya akan tetap pada keputusannya. Dan saya merasa letih serta putus asa.

ku pilih tiada tuk menjadi ada
ku pilih binasa tuk jadi niscaya
hari itu kan jadi saksi
matimu dan aku kan hidup kembali

Hei, F, seandainya saja bisa kuulang waktu... Mungkin akan kukatakan, tunggu. Tunggulah, sampai si sulung bisa mengendarai sepeda roda dua. Tunggulah, sampai Iwan Fals mengeluarkan satu album lagi. Tunggulah sampai pohon jambu di depan rumah masa kecil kita berbuah lagi. Tunggulah, sampai ulang tahun anakku yang mungkin bisa kita rayakan bersama  keluarga. Tunggulah sampai aku bisa memasak gudeg yang sempurna untuk kita semua mencicipinya. Tunggulah hingga pernikahan adikku. Tunggulah hingga komik Detective Conan tamat dan kita tahu siapa pimpinan kelompok jubah hitam.


Tunggulah. Hingga Tuhan menunjukkan cara membuatmu merasa bahwa Dia juga mencintaimu. Lalu mungkin kau tak perlu pergi.

Comments

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku