Skip to main content

kegalauan sebelum menikah

Menikah itu keputusan yang berat bagi sebagian orang.  Walaupun Icha pernah tulis bahwa ternyata marriage is not that scary (lucky you, Cha, I envy), nikah itu ya gitu doang, tapi sepertinya buat saya  oh yes, marriage is that scary. Pernikahan adalah hal yang sejak dulu membuat saya galau segalau-galaunya, dan kalau bisa pengen ditunda-tunda aja terus. Hahaha. Dalam pernikahan kan kita harus menyesuaikan diri dengan orang lain, walaupun orang lain itu pasangan sendiri. Dan kalaupun bagi sebagian orang, termasuk saya misalnya, beruntung bahwa dia dan pasangan tidak terlalu banyak membutuhkan penyesuaian karena sudah kenal luar dalam, tetap saja banyak hal-hal yang harus disesuaikan: teman-teman, pekerjaan, dan terutama keluarga.

Kita tidak bisa memilih keluarga. Pasti ada saja kelakuan ayah, ibu, adik kakak kita yang menjengkelkan. Tapi mereka adalah keluarga yang Tuhan berikan untuk kita. Juga dengan keluarga pasangan. Kita tidak bisa memilih pengen mertua seperti apa, bagaimana pun adanya orang tua pasangan, itu yang harus kita terima, kalau memang mau sama anaknya. Bagi yang punya mertua dan keluarga besar pasangan yang asyik, ya syukur. Kalau dapat yang biasa-biasa saja dan nggak reseh pun masih untung. Dapat yang reseh pun nggak boleh protes kan ya, kan beda dengan beli barang cacat yang bisa dikembalikan. Ya sudahlah, suka-suka Tuhan mau kasih kita mertua kayak apa, toh hidup ini nantinya break even point kan ya, kalau dikasih cobaan dengan mertua, pasti dikasih juga plus plus di sisi kehidupan lain kan ya. Dan kalau kita tabah menjalaninya, pasti nanti karma baiknya kembali ke kita. Dan entah kenapa kok saya lebih suka pakai istilah karma baik daripada pahala, hahaha.

Ini ceritanya saya sedang galau, karena membayangkan kehidupan pernikahan saya yang mungkin akan sedikit berbeda dengan banyak pasangan lainnya. Sebab Mr Defender adalah anak tunggal dari seorang ibu yang karena suatu kondisi penyakit dan kejiwaannya, tidak bisa tinggal sendirian. Yang artinya, sejak awal pernikahan sampai seumur hidup saya atau ibunya (tergantung siapa yang lebih panjang umur ya, kan umur nggak ada yang tau) saya harus tinggal bersama mertua yang terganggu secara kejiwaan. Tadinya sih saya yakin saya pasti bisa ya, cewek-cewek di sinetron aja bisa, masa saya enggak sih. Tapi ternyata setelah masa percobaan selama sebulan, hidup berdampingan sama calon mertua itu nggak semudah yang dibayangkan. Serius deh. Apalagi kalau membayangkan ibu ini nggak bisa ditinggal sama sekali, saya jadi stress.

Contoh beberapa kegalauan saya:
  1. Saya pengen ambil S2 di luar negeri, insya Allah kalau ada beasiswa. Mr Defender juga sama. Masalahnya siapa nanti yang bakalan tinggal sama ibu kalau kami di luar negeri? Di luar sana kan pembantu mahal.
  2. Saya dan Mr Defender bekerja di instansi yang sering memutasikan pegawainya ke seluruh Indonesia. Kalau di Samarinda masih ada keluarga dekat. Yang saya nggak kebayang, nanti kalau kami mutasi ke tempat yang jauh dari mana-mana dan kulturnya beda dengan kami. Kalau ikut kami, apakah ibu bisa menyesuaikan diri? Apakah di tempat baru ada dokter yang cocok dengan ibu dengan fasilitas yang cukup?
  3. Saya suka jalan-jalan. Dan kayaknya nggak seru aja jalan-jalan sambil bawa ibu. Sebut saya egois, tapi saya nggak mau. Kalau masalah yang ini sih mungkin bisa diatasi dengan ninggalin di rumah dengan pembantu sih ya, tapi tetap bikin galau.
  4. Males aja membayangkan nggak bisa ngapa-ngapain semau saya, kayak misalnya pengen ikutan Earth Hour tapi si ibu nggak mau (bahkan untuk hal sesimpel ini aja jadi nggak simpel kalau ada orang lain ya, hehehe), trus mau pergi seharian sama pasangan juga nggak bisa, banyak hal-hal kecil yang harusnya simpel tapi jadi ribet karena harus dikompromikan.
Masih banyak sih, tapi cukup ini dulu deh. Hahaha. Untungnya, pasangan saya adalah orang yang bisa membuat saya yang egois ini (sekarang) rela mengkompromikan itu semua (sekarang sih, entah nanti ya) demi bisa bahagia berdua. Mungkin banyak hal seru yang terlewat kami alami nanti, karena harus merawat ibu (yang mana sekarang ini saya belum bisa seratus persen ikhlas sih melakukannya, masih merasa itu jadi beban. boleh sebut saya egois atau durhaka, tapi sejujurnya saya merasa terbebani karena mendadak harus mengurus orang lain, walaupun orang lain itu ibu Mr Defender). Tapi kan namanya hidup orang macem-macem ya, mungkin saya nggak bisa dapat suatu hal, tapi akan memperoleh hal manis lainnya.

Sering sih kalau lagi kesal dan bete dan capek saya protes ke Tuhan, kenapa sih Tuhan? Kenapa harus saya yang mengalami ini? Kenapa saya nggak dapat mertua yang masih sehat dan bisa tinggal sendiri aja? Kenapa Mr Defender harus anak tunggal sehingga saya jadi harus merawat orangtuanya seumur hidup? Dan kenapa lain yang nggak selesai. Dan Tuhan bertanya balik, tebak, kenapa coba? Pastinya ini karma buruk saya di masa lalu, atau sebaliknya, akan menjadi karma baik saya nanti kalau saya tabah menjalaninya. Atau lebih gampangnya sih, ini ujian yang akan membuat saya lebih kuat dan lebih berkarakter. Cailah.

Wish me luck, and wish me patience, and wish me persistency.

Comments

  1. *hugs*
    i never know how it feels,tapi kayaknya bisa ngerti seperti apa rasanya.
    semoga ini ujian yang nantinya berbuah manis ya mbak,whatever it is.
    *semoga ibunya mas pacar cepat sembuh!

    ReplyDelete
  2. estiiiii :* trimakasih yaaa... +peluk+ jadi malu lagi galau gini padahal udah tua juga >_<

    makasih ya udah mampir

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku