Di suatu malam, kamu mengajak saya keluar, minum segelas dua gelas bir atau anggur kolesom cap orang tua. Bicara tentang apa saja, atau bukan tentang apa-apa. Saya tahu itu adalah bahasa kode untuk "aku sedang tidak baik-baik saja, tapi tolong jangan tanya kenapa", maka saya mengambil helm dan duduk di boncengan motormu. Dan mesin pun menderu.
Dalam perjalanan melintas pelabuhan, saya iseng berkomentar tentang seorang lelaki kurus setengah baya yang menyandang tas punggung, menunggu angkutan, ataukah jemputan. "Dia baru datang dari pekerjaannya di rig, dan membawa satu tas penuh uang untuk dihabiskan selama dua minggu sebelum harus pergi lagi selama enam minggu."
Kamu tertawa. "Mungkin dia cuma baru pulang berjualan tiket speed di pelabuhan."
"Kamu kurang imajinasi," kata saya sambil melingkarkan tangan di pinggangmu. "Sedikit khayalan tidak akan membunuh."
"Kalau aku punya setengah saja imajinasimu, aku bisa gila." Kenapa, saya bertanya.
"Hidupku tidak perlu lagi drama."
Lalu senyap hingga botol kedua.
"Over thinking ruins you. It makes you worry and makes thing worse than it actually is."
"Seperti cerita cabut gigi-nya Dalai Lama..."
Kamu mengambil gelas dari tanganku. "Ayo kuantar pulang."
"Lho, kenapa?"
"Karena kamu sudah sangat mabuk, atau mengantuk sampai tidak bisa membedakan Ajahn Brahm dan Dalai Lama."
Kita tertawa. Kamu tertawa. Dan kita memang mabuk atau mengantuk karena saya tidak ingat meninggalkan helm kesayangan saya di sana. Tapi kamu tak sedih lagi. Dan saya tak bosan lagi.
Comments
Post a Comment