Skip to main content

r.u.m.a.h

Jadi, akhir tahun lalu (sebelum ada acara lamaran dan kepastian pernikahan kami) saya dan Mr Defender membeli sebuah rumah di kota tempat tinggal kami sekarang, di jantung khatulistiwa. Itu sebuah keputusan besar yang akhirnya kami ambil setelah melalui banyak pertimbangan.

Lalu ketika saya mengurus berkas-berkas KPR, dan tentunya harus berurusan dengan banyak orang, ternyata ada beberapa komentar yang cukup membuat panas telinga. Yang pertama: ngapain sih beli rumah di sini? kan mahalnya nggak wajar. kalau dibelikan rumah di Jawa udah bisa dapat empat rumah dengan tipe yang sama. Dan yang kedua: ngapain sih beli rumah berdua sebelum menikah? nanti kalau nggak jadi nikah gimana? nanti membagi hak miliknya gimana kalau putus?

Dua komentar itu kami dengar jauh lebih sering daripada ucapan selamat atau dukungan, atau minimal "selamat berjuang mengangsur cicilan rumah". Yah, kami sih berusaha cuek-cuek saja. Menjawab asal-asalan. Lagipula kami kan pacaran emang nggak nyari putus, memang niatnya kan mau menikah, ya terserah kami dong mau nikah dulu atau beli rumah dulu. Toh menikah pun bisa berujung perceraian kan? Kalau setelah merit pun masih mikir beli rumah berdua karena takut nanti kalau cerai gono-gininya susah ya nggak beli-beli nanti. Hahahaha.

Sekarang, alhamdulillah uang muka sudah lunas (akhirnya ya, setelah jungkir balik), akad KPR sudah, cicilan alhamdulillah sudah masuk bulan ketiga dan alhamdulillah lagi keuangan nggak terlalu seret tuh (tuh, yang bilang KPR bikin miskin, eat that, ha!) dan calon rumah kami sudah mulai dipasang pondasinya. Rencananya sih bisa diserahterimakan akhir tahun ini, tapi mudah-mudahan bisa lebih cepat ya. Amiiiiinnn...


Banyaaaaakkk sekali pengalaman baru yang kami dapatkan selama proses pengurusan KPR ini. Banyak ilmu. Banyak kenalan. Banyak mencoba dan gagal. Banyak belajar. Banyak nekatnya juga. Pokoknya nano-nano bener deh rasanya. Dan semua itu memperkaya hidup kami. Jadi ada yang bisa dikenang dan diceritakan ke anak cucu nanti, kalau kata Mr Defender.

Pelan-pelan membangun hidup kan ya, ceritanya.... Uhukk!

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku