Skip to main content

Le Petit Prince


Pernahkah saya mengeluh tentang Gramedia kota saya? Oh, sudah ya, hehehe. Jadi saya sedang tidak suka Gramedia karena komik-komik yang saya ikuti di Jakarta dulu tidak dijual di sini. Dan saya merasa menyesal dulu tidak membeli buku-buku yang saya inginkan, karena di sini, tidak ada yang menjualnya.

Lalu secara tidak sengaja saya dan Mr Defender berjalan-jalan ke mal yang lusuh dan terlupakan di dekat pelabuhan, dan di sana kami menemukan sebuah toko buku yang penampilan luarnya sangat tidak menjanjikan. Tetapi, ternyata itu adalah temuan berharga. Walaupun toko buku ini tidak menjual buku-buku yang saya mau, tapi itu adalah sebuah toko buku betulan, yang menjual Kafka on The Shore karya Haruki Murakami dan The Sax karya Sujiwo Tejo. Dan di sana banak buku-buku Tao dan Konfusius, baik yang ditulis oleh penulis barat maupun penulis-penulis Cina (dan dengan huruf Cina) lengkap dengan satu ilustrasi gambar di setiap halaman. Juga buku-buku sastra Cina dengan sampul yang indah-indah (sayang ya, tidak ada buku sastra Jawa kuno, hihihi). Saya rasanya ingin menangis karena terharu, dan saya tahu saya akan sering datang ke sana.

Buku pertama yang saya beli dari toko itu adalah Le Petit Prince yang diterjemahkan oleh Henri Chamber-Loir. Saya membelinya karena judul terjemahannya Pangeran Cilik, sedang yang saya punya adalah Pangeran Kecil (terjemahan Wing Kardjo), dan saya penasaran apakah terjemahannya akan berbeda.

Dan ternyata berbeda. Perbedaan yang membuat saya sangat ingin belajar bahasa Perancis agar dapat membaca versi asli buku ini, sebab penerjemahnya bilang bahwa bahasa di buku aslinya sangat indah, setiap kata dipikir masak-masak dan setiap pengulangan memiliki maknanya.

Sebenarnya, saya mungkin tidak tahu apa pesan moral (kalau ada) buku Le Petit Prince ini. Saya juga tidak tahu di mana bagusnya, walaupun buku ini mendapat banyak penghargaan. Saya cuma menyukainya, sangat menyukainya. Saya telah dijinakkan, sesederhana itu. Saya mungkin bahkan tidak tahu apa maksud sang penulis buku, juga apakah saya menginterpretasikan buku itu dengan cara yang sama seperti yang sebenarnya ingin disampaikan si penulis. 

Tapi, bukankah itu tidak penting dan tidak relevan? :)

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku