Di dalam otakku ada segerombolan teroris yang sampai hari ini masih eksis. Tidak tersentuh, tidak terlacak keberadaannya, dan bahkan aku, sang tokoh utama kehidupanku, yang seharusnya berkuasa atas setiap pergerakan molekul sekecil apa pun dalam diriku, tidak mampu menjerat mereka dengan undang-undang dan membunuhnya, atau memenjarakannya selamanya.
Mereka datang sewaktu-waktu, kadang di saat aku paling tidak menginginkannya, dan seringnya di saat aku yakin mereka sudah pergi, angkat kaki untuk selamanya. Mereka bisa dalam waktu dua detik memporakporandakan puzzle kebahagiaan yang sudah kususun keping dari keping setiap hari sebelum akhirnya memperoleh bentuknya, dan ketika bentuk puzzleku mulai tampak, segerombolan teroris datang dan segala yang telah hampir sempurna pun musnah.
Sering aku merasa diri menyedihkan setiap kali aku tersadar bahwa mereka tidak pernah pergi. Mereka ada di sana. Mereka benar-benar ada, namun aku selalu menghindar dan berpura-pura. Mereka nyata, seperti teroris di Indonesia, dan aku presiden yang berpura-pura tidak ada apa-apa, bahkan walaupun seisi kota porak poranda dan berdarah di mana-mana. Aku tersenyum dan memasang wajah manis pada dunia. Berpura-pura kokoh padahal aku ini tulang yang sudah kena osteoporosis. Menunggu runtuh.
"Aku akan menganggap waktu itu tidak kumulatif," begitu aku pernah berkata padamu, dan selalu pada diriku sendiri. "Hari ini adalah masa yang terpisah dari hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan setiap hari segala sesuatunya adalah masa yang berbeda. Karena itu, aku tidak akan pernah bertanya 'sampai kapan?'. Tidak akan."
Kamu selalu menjawabku dengan genggaman tangan. Tidak akan ada penjelasan yang lebih baik, tidak akan ada kata penghiburan yang mampu. Kamu tahu bahwa segala kata tidak akan dari mulutku adalah penyangkalan, adalah cara menghibur diri yang paling konyol.
Dan teroris-teroris di otakku juga tahu, bahwa seluruh kata tidak yang kuucapkan adalah cara terbaik untuk menyakitiku. Membuatku gila dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan itu. Menenggelamkanku dalam pusaran apapun itu, yang jelas dia adalah kebalikan dari harapan. Keputusasaan? Ketakberdayaan?
Aku lelah bertanya sampai kapan.
Comments
Post a Comment