Skip to main content

Tolong berhenti.


Di dalam otakku ada segerombolan teroris yang sampai hari ini masih eksis. Tidak tersentuh, tidak terlacak keberadaannya, dan bahkan aku, sang tokoh utama kehidupanku, yang seharusnya berkuasa atas setiap pergerakan molekul sekecil apa pun dalam diriku, tidak mampu menjerat mereka dengan undang-undang dan membunuhnya, atau memenjarakannya selamanya.

Mereka datang sewaktu-waktu, kadang di saat aku paling tidak menginginkannya, dan seringnya di saat aku yakin mereka sudah pergi, angkat kaki untuk selamanya. Mereka bisa dalam waktu dua detik memporakporandakan puzzle kebahagiaan yang sudah kususun keping dari keping setiap hari sebelum akhirnya memperoleh bentuknya, dan ketika bentuk puzzleku mulai tampak, segerombolan teroris datang dan segala yang telah hampir sempurna pun musnah.

Sering aku merasa diri menyedihkan setiap kali aku tersadar bahwa mereka tidak pernah pergi. Mereka ada di sana. Mereka benar-benar ada, namun aku selalu menghindar dan berpura-pura. Mereka nyata, seperti teroris di Indonesia, dan aku presiden yang berpura-pura tidak ada apa-apa, bahkan walaupun seisi kota porak poranda dan berdarah di mana-mana. Aku tersenyum dan memasang wajah manis pada dunia. Berpura-pura kokoh padahal aku ini tulang yang sudah kena osteoporosis. Menunggu runtuh.

"Aku akan menganggap waktu itu tidak kumulatif," begitu aku pernah berkata padamu, dan selalu pada diriku sendiri. "Hari ini adalah masa yang terpisah dari hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan setiap hari segala sesuatunya adalah masa yang berbeda. Karena itu, aku tidak akan pernah bertanya 'sampai kapan?'. Tidak akan."

Kamu selalu menjawabku dengan genggaman tangan. Tidak akan ada penjelasan yang lebih baik, tidak akan ada kata penghiburan yang mampu. Kamu tahu bahwa segala kata tidak akan dari mulutku adalah penyangkalan, adalah cara menghibur diri yang paling konyol.

Dan teroris-teroris di otakku juga tahu, bahwa seluruh kata tidak yang kuucapkan adalah cara terbaik untuk menyakitiku. Membuatku gila dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan itu. Menenggelamkanku dalam pusaran apapun itu, yang jelas dia adalah kebalikan dari harapan. Keputusasaan? Ketakberdayaan?

Aku lelah bertanya sampai kapan.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku