Skip to main content

tentang keluarga, cinta orang tua dan rock n roll

Saya belum menjadi orang tua, jadi saya memang tidak tahu apa rasanya perjuangan sembilan bulan mengandung dan bertaruh nyawa melahirkan seorang anak ke dunia. Saya juga belum tahu rasanya membanting tulang mencari nafkah menghidupi buah hati. Saya juga tidak bermaksud mengecilkan jasa para orang tua, namun tulisan ini merupakan isi hati saya, sebagai anak dan manusia.

Kepada para orang tua yang terhormat,
Sadarkah kalian bahwa terkadang kalian memberi beban yang berat kepada anak, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa? Semacam keinginan atau keharusan agar anak itu menjadi rangking satu atau masuk sepuluh besar, agar si anak menjadi orang berprestasi, kuliah di universitas negeri dengan mengambil jurusan  mayor (baca: standar), kerja di tempat yang gajinya besar, menikah, dan sebagainya-dan sebagainya.

Oke, mungkin saat ini ada orang tua yang mengatakan bahwa apa yang mereka inginkan itu adalah untuk kebaikan si anak sendiri. Oh ya? Benarkah? Yakinkah semua usaha memasukkan anak ke sekolah mahal bahkan sejak dari playgroup, ikut les ini itu sampai si anak nggak punya banyak waktu untuk bermain di alam bebas seperti anak-anak di film Laskar Pelangi itu adalah demi membuat anak bahagia? Bukan cuma biar para orang tua bisa pamer anaknya sekolah di SD unggulan atau juara satu di kelas? Bukan? Baiklah.

Tidak ada yang salah dengan memberikan pendidikan terbaik untuk anak, begitu para orang tua mengatakan. Mereka rela memberikan apa pun asal anaknya sukses. Benarkah? Untuk siapa sukses itu? Sungguhkah untuk si anak sendiri? Bagaimana dengan anak-anak yang mungkin berbakat menjadi drummer, komikus, atau penata cahaya film, tetapi bakatnya mungkin dimatikan sejak dia masih SD dengan beragam les yang sesungguhnya ia tidak perlu?

Atau, pernahkah para orang tua merenung, mungkinkah saat ini, anaknya yang sedang kuliah semester terakhir di Teknik Informatika ITB, sebenarnya sedang menyesal mengapa dulu tidak masuk kedokteran hewan, mengapa ia memilih jurusan bergengsi yang tidak diminatinya? Kemungkinan alasan anak itu cuma dua: ingin pekerjaan yang menjanjikan setelah lulus, dan ingin membuat orang tua bangga. Bahkan alasan pertama pun ujungnya adalah untuk membuat orang tuanya bangga.

Orang tua sering membuat anaknya merasa bersalah dengan jurus 'capek-capek mama kerja buat nyekolahin kamu tapi kamunya begini' atau 'mama iri sama mamanya si A yang pintar dan berprestasi' yang akhirnya memacu si anak untuk berusaha lebih keras demi membahagiakan orang tuanya. Mungkin bagi orang tua, semuanya itu untuk kebaikan si anak. Kebaikan yang seperti apa? Apakah sukses sekolah, kerja dengan gaji besar itu menjamin si anak hidupnya baik dan bahagia?

Jika seandainya anak kalian hidup sebagai musisi miskin yang tak laku, diremehkan orang namun tetap bahagia karena dia sedang menghidupi mimpinya, apakah para orang tua tetap bisa bangga dan bahagia? Atau, apakah kalian bisa percaya anak itu bahagia? Mungkin tidak. Padahal, anak itu sungguh bahagia.

Mengapa para orang tua begitu ingin anaknya hidup aman secara finansial, lulus kuliah langsung dapat bekerja dengan layak tanpa kesulitan hidup berarti? Mengapa orang tua tidak banyak yang membiarkan anaknya hidup susah demi mengejar mimpinya? Putus sekolah demi menjadi musisi, misalnya. Atau berhenti kuliah untuk menjadi pemain bola. Mengapa jarang orang tua yang mengizinkan anaknya mencicipi kerasnya kehidupan, bekerja dengan tangannya sendiri mengejar apa yang menjadi panggilan hidupnya?

Mengapa orang tua mengukur kebahagiaan anak dengan ukurannya sendiri? Saya yakin semua orang tua ingin anaknya bahagia, begitu pun si anak ingin orang tuanya bahagia, karena itulah mereka sering mengorbankan mimpinya demi mimpi orang tuanya. Apakah akhirnya anak itu bahagia? Mungkin dia bahagia karena telah membuat orang tuanya bahagia, namun apakah secara pribadi, individu, dia sungguh bahagia? Mungkin tidak.

Saya tidak tahu kelak akan jadi orang tua seperti apa. Tapi saya berjanji anak saya harus bahagia dengan caranya sendiri, dengan ukurannya sendiri, dengan mimpinya sendiri. Saya tidak ingin anak saya nanti memparalelkan kebahagiaannya dengan kebahagiaan saya sebagai orang tuanya. Sebab dalam hati saya tidak percaya individu yang tidak bahagia bisa membahagiakan orang lain. Saya percaya pada prosedur pemakaian masker oksigen di pesawat: semua orang harus menolong dirinya sebelum menolong orang lain. Orang baru bisa menolong orang lain dengan menolong dirinya sendiri. Seorang anak harus bahagia sebelum membahagiakan orang tuanya.

tulisan ini dibuat sebagai pengingat, semoga kelak saat menjadi orang tua saya tidak bertranformasi menjadi tipe orang tua yang saat ini saya benci, apa pun kondisinya nanti

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku