Skip to main content

Kopi Pagi Ini

gambar dari sini
Setiap pagi, seperti biasa dijalani setiap hari, adalah saat memulai kehidupan baru. Kalau kata Sudjiwo Tedjo, setiap pagi ketika bangun pagi adalah saatnya bagi kita untuk bertanya kepada diri sendiri 'apakah hari ini masih layak dijalani?' dan saatnya mendaftar, apa saja hal yang membuat kita harus tetap hidup hari ini (dan alasannya tidak termasuk 'bunuh diri itu dosa'). Jika hidup kita memang masih layak untuk dijalani, maka lanjutkanlah hari ini dengan penuh semangat. Jika memang tidak bisa menemukan satu alasan pun untuk menjalani hidup ini, maka tanpa bunuh diri pun, kita sesungguhnya telah mati.

Bagi sebagian besar orang, hidup mungkin sudah menjadi rutinitas dari bangun tidur sampai kembali tidur lagi. Kita bangun, beribadah, mandi, pergi ke kantor atau kuliah atau mengurus rumah, makan, dan seterusnya, karena setiap hari yang kita jalani memang harus begitu. Karena kebiasaan. Dan tanpa kita sadari hari sudah berlalu tanpa menyisakan apa-apa di hati kita. Dan umur kita terbuang lagi, sia-sia, sehari ini.

Sejak beberapa waktu yang lalu, saya berjanji pada seseorang di dalam tubuh saya, untuk benar-benar menikmati hidup, dengan cara yang saya mau. Dan pada pasal berikutnya saya tambahkan, bahwa kalaupun saya, karena satu dan lain hal tidak bisa hidup dengan cara yang saya mau, saya akan tetap menikmatinya, dengan cara yang akan saya temukan sendiri. Itulah saat saya memutuskan untuk membuang semua target dan perbandingan yang menyakiti diri sendiri, dan menjalani hidup sesuai keinginan saya. Itulah saat saya tidak pernah mengkhawatirkan kapan saya bisa mulai kredit rumah atau memiliki portofolio investasi, asalkan saya punya cukup uang untuk perjalanan yang nyaman mendaki Rinjani atau Kinibalu. Itulah saat saya berhenti merasa bersalah menghabiskan hampir seluruh tabungan untuk membeli sepeda lipat yang benar-benar saya inginkan. Berhenti mengharuskan diri menyukai semua band atau penyanyi yang muncul di Rolling Stones, dan mendengar apa yang benar-benar saya suka saja. Saya tidak lagi takut untuk dikucilkan oleh mereka yang mayoritas, juga tidak takut untuk dianggap tidak keren oleh mereka yang minoritas. Saya akan memilih, dari seluruh hal, yang benar-benar saya suka. Saya tidak merasa bodoh karena menganggap Efek Rumah Kaca biasa-biasa saja, tidak merasa malu menyukai komedi romantis Hollywood, dan tidak merasa ke-keren-an diri saya berkurang dengan tidak menonton Glee.

Saya, secara ajaib, tidak lagi khawatir pada apa pun penilaian orang, begitu saya berhenti membandingkan diri saya dengan semua orang. Saya tidak panik meskipun teman yang kuliahnya seangkatan sudah bisa beli ini itu, tidak juga merasa perlu buru-buru menikah karena hampir semua teman dekat saya yang seumuran sudah berkeluarga. Tidak merasa iri dengan mereka yang bisa liburan keluar negeri atau selalu nonton konser band kesukaan. Jangan salah sangka, saya tetap menganggap semua itu keren dan menyenangkan, dan saya juga menginginkannya, hanya saja, saya telah berhenti membandingkan, berhenti mewajibkan diri begitu karena yang lain juga begitu. Saya ingin merasa merdeka, menentukan tujuan hidup dengan cara menengok ke dalam hati, menanyakan kepada diri sendiri yang paling sejati, apakah yang sungguh-sungguh ingin saya capai dalam hidup ini, dan berhenti membuat target hidup dengan cara melihat kepada orang lain yang saya anggap sukses ataupun dari panduan tabloid wanita dan majalah keuangan. Dan kalaupun nantinya tujuan hidup saya sama persis atau sangat berbeda dengan panduan, itu akan menjadi kebetulan saja, dan tidak berpengaruh apa-apa pada diri saya.

Jadi, hari ini, saya tetap menemukan hal-hal kecil yang membahagiakan dari rutinitas harian saya. Sensasi  segar jeruk dari sabun baru saya, perasaan cantik saat memakai rok kembang-kembang ke kantor, nikmatnya suapan pertama sarapan hari ini. Walaupun dengan meminum kopi yang sama, membaca koran pagi yang sama, kantor dan orang-orang yang sama, selalu ada kegembiraan kecil (dan yang besar) yang telah disiapkan Tuhan buat saya (dan semua orang) di hari ini, dan setiap hari berikutnya. Dan jika kita bergegas terlalu cepat, kita mungkin terlewat untuk menangkapnya.

Selamat berhari Kamis.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku