Skip to main content

Ayah

gambar ayah dan adik saya pada liburan akhir tahun 2008

Senin kemarin saya pergi karaoke dengan teman-teman kos. Malam itu yang ikut cuma empat orang (kami berempat penggemar karaoke sejati yang selalu ikut acara senang-senang ini, yang lain sih cuma figuran hehehe). Biasanya acara karaoke kami seru karena masing-masing punya selera lagu karaoke yang berbeda. Deni si macho anggota tim basket universitas, entah kenapa suka sekali lagu India (korban Briptu Norman dia) dan lagu-lagu galau menyayat hati (setiap kami karaoke dia selalu menyanyikan Bukan Dia Tapi Aku-nya Judika). April si ibu guru (yang bersuara paling bagus di antara kami semua) sukanya lagu-lagu yang butuh skill kayak lagunya Celine Dion atau Whitney Houston (pintar ya dia, dengan demikian dia akan nyanyi sendiri, nggak ada yang nimbrung, minder soalnya). Vina, sukanya nyanyi lagu-lagu Top40 saat ini dan...jengjengjeng... lagu dangdut koplo! Saya? Karena suara yang standar dan tanpa skill, nyanyinya lagu-lagu imut yang mudah dinyanyikan macam lagu-lagunya SNTR, Ratu, Maia, BCL, dan M2M. hahaha.

Nah, tapi hari itu kami semua mendadak berubah tema, menyanyikan lagu jadul, diawali dengan Ibu Guru April yang dengan sintingnya menyanyikan Nurlela, plus dengan gaya Vina Panduwinata jaman dulu kala. Maka bertebaranlah lagu-lagu Jangan Ada Dusta di Antara Kita, Kemesraan, Lelaki dan Rembulan, Deru Debu, Hidupku Bagai di Sangkar Emas, dan lagu-lagu Nike Ardilla yang tidak saya kenal (saya sampai heran, sebenarnya anak-anak ini hidup di tahun berapa ya). Sampai saatnya giliran April, dia menyanyikan lagu Ayah dari Broery Marantika.

Karena suara dia bagus, saya termenung sepanjang dia menyanyi itu. Malahan, kalau bukan karena Deni yang sibuk berpantomim ala deklamasi 17 Agustusan, saya pasti sudah menangis karena lagu Ayah.

Ayah. Saya adalah penggemar berat ayah saya. Saya selalu membanggakan ayah saya, kepada semua orang. Ayah saya adalah laki-laki yang hebat, suami yang hebat, ayah yang hebat. Ayah saya menjadikan kami anak-anaknya hidup sederhana agar bisa memberi pendidikan kepada anak-anak orang lain. Ayah saya memberikan kesempatan pada puluhan anak-anak di tempat terpencil untuk bisa mengecap bangku sekolah. Dia bukan hanya memberikan uang, tapi tenaga, pikiran, dan kasih sayangnya untuk mereka. Ayah saya seorang suami romantis yang tak pernah lupa membawa segala oleh-oleh cantik untuk ibu sepulang dari dinas luar kota. Dan dia ayah yang hebat. Ayah yang selama tiga bulan mengantar saya ke sekolah yang jaraknya 40 km dari rumah dengan sepeda motor di pagi yang dingin, lalu kembali lagi ke rumah dan masih harus pergi ke kantor setelahnya. Ayah yang memenuhi rumah kami dengan semua majalah, kaset, dan buku-buku yang saya mau sejak saya masih tiga tahun. Ayah yang setiap minggu mengajak saya dan adik-adik ke pantai untuk mengumpulkan cangkang kerang dan ke toko buku bekas di mana kami boleh membawa pulang sebanyak yang kami mau. Ayah yang langsung setuju tanpa bertanya harga setiap saya mau les ini itu. Ayah yang mendukung saya sepenuhnya saat ayah teman-teman melarang naik gunung dan susur gua. Buat saya, dia ayah terbaik. Ayah juara satu seluruh dunia.

Dan kemarin, bersamaan dengan saya membayangkan ayah saya yang begitu segalanya buat saya, saya teringat Mr Defender, yang ayahnya pergi untuk selamanya sejak dia masih di dalam kandungan. Saya ingat seorang sahabat saya yang bilang pada saya bahwa dia tidak tahu bagaimana cara bergaul dengan bapak-bapak karena tidak pernah tahu rasanya punya ayah. Dan perasaan saya tiba-tiba teraduk-aduk. Saya punya begitu banyak kebahagiaan dengan ayah saya, dan mereka tidak punya sama sekali.
Maka saat itu, dan saat ini, saya melipatgandakan rasa syukur saya atas kebaikan Tuhan memberikan ayah yang begitu baik dan keren untuk saya. Dan karena saya sampai kapan pun memang tidak akan pernah bisa membalas segala kebaikan ayah saya langsung kepadanya, satu-satunya cara yang bisa saya lakukan hanyalah berusaha memberikan seorang ayah yang tak kalah  hebat untuk anak-anak saya di masa depan. Seperti kata Pidi Baiq, anak-anak memang butuh uang (dan segala benda seperti ponsel terbaru atau alat tulis Sanrio) tapi mereka juga butuh untuk merasa bangga pada siapa orang tuanya.

Semoga Mr Defender dan semua laki-laki di dunia yang tidak sempat merasakan ikatan ayah dan anak seperti yang saya punya, akan menjadi ayah yang hebat untuk anak-anaknya. Dan semoga sahabat saya dan semua perempuan di dunia yang tidak beruntung mengenal ayahnya, nantinya akan bersama seorang suami yang mampu menjadi ayah baginya, dan ayah yang terbaik untuk anak-anaknya. 
Semoga semua ayah di seluruh dunia diberkati!

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku