Skip to main content

Pedometer

Minggu lalu, saya membeli pedometer. Buat yang belum tahu, pedometer itu alat yang dipakai buat ngitung langkah kaki kita. Biasanya pedometer bentuknya digital, tapi saya beli yang manual, bentuknya seperti bel sepeda. Setiap kali saya berjalan, saya pencet pedometernya, dan karene pedometernya manual seperti cap penanda hari tanggal bulan tahun itu, setiap kali melangkah saya akan meninggalkan bunyi berisik 'ctik ctik'.

Nah, karena saya terobsesi dengan iklan Anlene jalan sepuluh ribu langkah sehari, saya jadi agak berlebihan dengan si pedometer. Misalnya, saya jadi selalu mengambil jalan alternatif yang lebih jauh. Trus saya jadi sangat rajin beredar di kantor, memfotokopi, mengantar surat ke ruangan lain (yang biasanya males-malesan) sekarang dilakukan penuh semangat. Beli apa-apa nggak minta tolong office boy lagi. Kalau mau pergi ke suatu tempat dan ada barang yang ketinggalan sehingga saya harus balik lagi, saya bukannya menggerutu tapi malah bahagia karena ada kesempatan menambah angka di pedometer. Dan yang lebih ekstrim lagi, setiap nganggur nggak ada kerjaan, saya selalu jalan mondar-mandir sambil ctik-ctik dengan si pedometer (oke, kalian boleh tertawa).

Tadi pagi, saat menemani Mr Defender ke tempat pencucian motor, saya lagi-lagi mengisi waktu dengan mondar-mandir. Kalau lantainya setrikaan, udah bukan licin lagi, hangus dia, hahaha.

"Kamu lagi ngapain sih?" Mr Defender keheranan melihat saya sok peragawati sambil men-ctik-ctik pedometer.
"Aku lagi menambah langkah biar 10.000. Nih lihat, masih pagi udah 2700 langkah," saya menunjukkan pedometer padanya dengan congkak.

"Ya ampun, kamu norak banget sih. Berisik tau ctik-ctik. Lagian pedometer itu kan dipakai buat zikir."

Saya bengong. "Zikir? Aku kan belinya di toko olahraga, ini buat hitung langkah kaki tau."
"Iya, tau. Tapi bisa dipakai buat macem-macem juga. Kayak buat ngitung barang di gudang, trus buat ngitung pengunjung toko. Inget kan di pintu Gramedia selalu ada mas-mas yang pakai pedometer tiap ada orang masuk toko? Tapi yang paling banyak buat zikir."

Saya masih ngeyel. "Zikir kan pakai tasbih..."
"Tasbih kan cuma 99 biji. Banyak orang yang zikirnya sampai jutaan kali, tau. jadi pakai pedometer biar gampang."
"Ooooo..." Saya manggut-manggut, ingat kalau bos di kantor juga punya pedometer kecil yang berbentuk cincin. Tadinya sih saya pikir dia juga terobsesi sama Anlene, tapi setelah mendengar penjelasan Mr Defender, saya jadi yakin dia pakai itu untuk berzikir.

Waktu diantar kembali ke kantor saya jadi mikir. Bukan mikirin orang yang menggunakan pedometer untuk zikir sih. Tapi karena baru sadar betapa nggak banget-nya saya. Bukan, bukan karena saya menggunakan pedometer untuk jalan kaki ataupun karena saya ingin berjalan ala Anlene. Saya cuma malu karena segitu terobsesinya saya sama langkah kaki, tapi kedodoran di hal-hal lain (berzikir cuma salah satunya). 

Oke, klise bukan? Tapi saya benar-benar merasa 'jlebb' di dalam hati. Bisa-bisanya saya mondar-mandir menekan pedometer, bagaimana dengan orang yang sudah saya buat kesal atau sedih? Berapa banyak hari ini? Bagaimana dengan senyum yang saya berikan hari ini? Berapa kali saya sudah mengeluh dan mengumpat dalam hati? (Iya, saya memang belum mikirin berzikir sampai jutaan kali. Saya mau mikir yang simpel-simpel aja. Dan jangan salah sangka, saya mikirnya sambil tetap jalan ke mana-mana pakai pedometer kok, saya kan persisten.)

"Udah, kenapa jadi manyun sih? Jalan terus aja pakai pedometernya. Kenapa sih kalau dibilangin sesuatu dipikirnya mesti sampai gitu?"

"Bukan gitu. Aku lagi mikir mau beli pedometer lagi."
"Hah? Buat apa?"

"Buat ngitung berapa kali kamu bikin aku sebel, manyun, nangis, berapa kali kamu telat jemput aku, batalin janji, nggak ngasih aku kado ulang tahun, dsb dsb. Hahahahaha." 
"Idihhhh..."

Saya tertawa sendiri. Mana mungkin begitu kan? Sebenarnya saya pengen bilang, saya mau beli pedometer untuk menghitung berapa kali kamu sudah membuat saya tersenyum setelah kecapekan, sedih, marah, kecewa, berapa kali kamu membuat saya senang dengan kejutan-kejutan kecil dari kamu, berapa kali kamu mengucapkan kalimat yang menyenangkan hati, berapa kali kamu menyejukkan hati saya yang sedang kelam, berapa banyak kebahagiaan yang sudah kamu kasih ke saya... tapi nanti pedometernya pasti nggak cukup. Iya kan, iya kaaaan? :-P

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku