Skip to main content

Di Antara Wajan dan Ulekan

gambar dari sini

Memasak bagi saya adalah terapi.
Ada yang tersembuhkan dalam diri saya setiap kali mengiris bawang, mencincang daging, memisahkan daun-daun bayam dari batangnya. Ada kebahagiaan kanak-kanak yang mungkin tidak dimengerti orang lain ketika saya menemukan tomat segar di pasar. Ada percakapan dalam bahasa yang hanya saya dan pisau bergagang coklat itu yang mengerti.
Banyak wajah yang terbayang ketika saya mengupas wortel atau mengaduk santan agar mendidihnya bagus. Banyak kenangan yang datang, dalam lamunan kosong ketika sendirian menyiapkan makan malam. Ada yang legit seperti kolak pisang, ketika saya mengingat keceriaan bersama teman-teman. Ada yang begitu manis namun menyisakan ngilu di gigi saat kenangan tentang para Mr He Was melintas. Ada yang mengental bak kuah capcay, seperti kerinduan untuk pulang. Ada yang pedas, yang menghangatkan seperti wedang jahe yang menyentuh tenggorokan. Kesalahan-kesalahan yang saya buat di masa lalu, penyesalan-penyesalan akan hal yang saya lakukan atau yang tidak saya lakukan, kekecewaan yang saya pendam, perlahan-lahan saya lepaskan, sepeti saya membersihkan minyak dan lemak dari wajan.
Saya memasak apa saja. Resep-resep yang saya pelajari dari dapur ibu saya, masakan-masakan baru dari buku atau internet, dan apa saja yang melintas di kepala saya. Saya membaca berulang-ulang, mencoba menakar kocokan telur seperti apa yang dimaksud dengan sudah mengembang, menentukan apakah kemiri atau ketumbar yang harus ditambahkan agar muncul rasa opor ayam seperti buatan ibu. Saya bersenandung, meninabobokan terung dan paprika, menghibur pepaya muda dan jamur kancing.
Segala perasaan saya tumpahkan ke dalam masakan saya. Rindu. Kebencian. Rasa bosan. Kekecewaan. Penyesalan. Rasa marah. Tapi yang terbanyak adalah cinta. Saya mendapatkan kembali semangat saya untuk memasak saat membayangkan orang-orang yang saya cintai makan masakan saya dengan gembira. Bahkan juga membayangkan mereka yang dulu pernah saya cinta dan mencintai saya, meski sekarang tidak lagi. Saya membayangkan membuat seloyang macaroni schotel untuk Miss Little Girl. Membayangkan Mr Backpack dan Mr Ladykiller duduk di satu meja, menyantap ayam teriyaki sambil bercakap-cakap. Membayangkan memasak opor ayam dan sambal goreng untuk keluarga saya di hari raya. Juga memanggang berloyang-loyang brownies untuk menemani obrolan sore dengan sahabat-sahabat saya. Lalu saat semua wajah menyatu di pelupuk pata saya, saya akan memejamkan mata, dan ketika saya membuka kelopaknya, saya akan mendapati Mr Defender di depan saya, memakan apa pun yang ada di kotak bekalnya dengan ceria, dan mengembalikannya kepada saya dalam keadaan licin tandas.
“Terima kasih,” katanya, lalu dia akan mengusap jari saya yang terluka karena pisau atau punggung tangan yang tak sengaja terkena minyak panas saat menggoreng ikan. “Lain kali hati-hati ya.”
Saya tersenyum. Luka-luka itu sama sekali tidak sakit. Mereka adalah luka yang membantu saya mengobati luka yang sesungguhnya. Luka yang sama sekali tak tampak. Di sana, di tempat yang hanya aku dan pisauku yang tahu.

Comments

  1. halo :) salam kenal :) blognya bagus :)
    betewe, aq gag bs masak niii...ngiris bawang aja malah tangan yg berdarah...ajarin masak dong :D

    ReplyDelete
  2. halo, makasih banyak ya udah mampir. blogku nggak seberapa ah dibanding glorilicious kamu... makasih ya udah mampir, aku jd nemu alamat blogmu deh :)

    ReplyDelete
  3. hehehe.....jadi malu #blushing
    duh..ada blog ku di link kamu :) thank you yaaa....hehehe....ni aq tau blog km jg gara2 km komen di blog temen2 aq yg lg kena masalah sama copy paste alias penjiplakan, trus iseng mampir nemu blog ini deh :) salam kenal yaaa

    ReplyDelete
  4. Hehehe, blog gloria dijiplak jg nggak?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku