Skip to main content

Jakarta

gambar dari sini

Saya, selalu ada hati pada Jakarta. Walaupun agak malas membayangkan bekerja di sana dengan segala kemacetan dan kesemrawutannya, namun Jakarta sudah menjadi rumah saya selama hampir tujuh tahun. Saya suka sekali Jakarta, bukan karena mal dan gedung pencakar langitnya, tapi karena  stasiun-stasiun lama, bangunan-bangunan tua, gedung-gedung antik dan sejarah yang dimilikinya. Saya dulu waktu masih jaman kuliah semester tiga, senang sekali pergi ke Mangga Dua naik kereta sampai Kota. Di setiap stasiun, di sepanjang jalan, saya selalu membayangkan kisah-kisah yang terjadi di daerah yang saya lewati. Karet misalnya. Dulu tempat itu merupakan tempat tinggal seorang Tionghoa yang kaya raya dan baik hati. Tanah Kusir merupakan tempat tinggal kusir-kusir delman. Kebayoran Baru. Kebayoran Lama. Tanah Abang. Saya selalu membayangkan kisah-kisah orang-orang jaman dulu, santri-santri yang belajar silat di jaman kolonial,  perkebunan-perkebunan yang luas milik tuan tanah Belanda, gadis-gadis cantik jaman dulu baik yang pribumi, yang oriental maupun noni-noni Belanda dan kisah cinta antarbangsa. Saya suka sekali membayangkan mereka semua dulu berada di atas tanah yang sama yang saya pijak sekarang, menatap jalanan yang sama, merajut cita-cita di umur yang sama.

Kesukaan saya yang lain waktu kuliah adalah naik busway. Waktu itu saya sering sekali naik busway koridor satu, tapi nggak mentok sampai Kota, cuma sampai Glodok atau Olimo untuk kemudian kembali lagi ke Blok M. Atau naik sampai Harmoni lalu pindah ke koridor dua, favorit saya, melewati Gambir, Kwitang, Senen, Galur, Cempaka Putih, terus sampai Pedongkelan, lalu turun dan naik jalur sebaliknya, melewati Pecenongan dan kembali ke Harmoni, ganti jalur ke koridor satu melewati Sarinah, Tosari, Dukuh Atas lalu kembali ke Blok M. Lumayan, karena selalu turun sebelum terminal akhir, cukup dengan 2500 waktu itu, saya bisa jalan-jalan nyaman membelah Jakarta, menatap jalanan dari balik kaca busway, memandangi gedung-gedung tua, lebih suka lagi kalau gerimis turun, saya akan sempurna diam, murung tapi bahagia, memandangi patung bundaran Hotel Indonesia, cahaya Monas waktu malam, stasiun dengan berjuta kisah perjumpaan kembali dan perpisahan, lalu merangkum semua rasa yang berbagai itu ke dalam hati saya, mengulumnya perlahan agar rasanya tak cepat hilang.

Jakarta juga adalah kota yang menyimpan semua kisah saya dengan Mr Backpack. Jalan-jalan di sepanjang koridor busway itu tahu bagaimana saya dulu melewatinya dengan berseri-seri, dengan merindu, juga dengan menangis. Bagaimana saya dulu, saat sedang rindu masa lalu, menatapi lampu-lampu jalanan dari balik kaca busway, atau memandangi lampu-lampu di bekas lapangan terbang Kemayoran sambil mengenang Mr Backpack yang telah berlalu, atau berjalan tanpa arah di Jalan Sabang. Bagaimana saya dulu, meskipun ditemani Ren mengitari Monas, Gambir, Senen, dan Istiqlal, tetap saja merasa kosong. Lalu, bagaimana saya perlahan-lahan sembuh, lalu bertemu orang lain, on off dengan Mr Backpack, hingga masa-masa saya bersama Mr Defender dan bagaimana saya bertahan dalam hubungan jarak jauh kami.

Banyak sekali kenangan, yang manis, yang pahit, yang asam dan pedas, yang gurih dan legit, yang saya tinggalkan di Jakarta ketika saya berangkat ke Samarinda untuk bersama dengan Mr Defender, setengah tahun lalu. Waktu itu saya meninggalkan Jakarta dengan bahagia dan penuh harapan, tapi sekarang kok rasanya kangen ya?

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku