Skip to main content

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!


Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih."

Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan saya bukannya tidak bisa mendebat, tapi saya malas.

Atau, kalau saya jawab, nantilah, umur juga belum 25 ini, masih muda, mereka bakalan balas, bagusnya nikah tuh umur segini, jadi nanti kalau pensiun  anak pertama udah lulus kuliah. Nah, di sini sebenarnya saya nggak lihat poinnya apa. Kalau poinnya masalah biaya, kan bisa nabung dan investasi dulu biar di umur berapa pun kita bisa biayain anak. Trus, kalaupun saya nikah sekarang, emang udah pasti saya bakalan langsung beranak? Kalau ternyata saya atau pasangan mandul gimana? Kalau ternyata setelah tujuh tahun baru dikasih anak gimana? Siapa sih yang bisa menjamin apa yang akan terjadi? Yang pasti cuma janji mentari terbit esok hari, itu kata sebuah papan di jalan menuju puncak Gunung Sumbing.

Kalau saya jawab, belum siap (yang seharusnya sudah merupakan jawaban final yang tak terbantahkan) mereka akan 'menyemangati' saya, apa lagi sih yang mau disiapin, udah lulus, udah kerja, udah mapan (yang seharusnya mereka juga sadar ukuran mapan itu beda untuk setiap orang, ukuran 'lulus' juga beda, ada kan yang menganggap tamat SMA sudah lulus, yang lain mungkin harus S3 dulu untuk menyebut dirinya lulus). Kayaknya nggak ada yang menyinggung masalah kesiapan psikologis di sini. Paling-paling mereka bilang, kalian kan pacaran udah tiga tahun. Terus? Emang jangka waktu pacaran berkorelasi ya dengan kesiapan kita menikah? Dalam pandangan saya, kesiapan menikah itu adalah sesuatu yang personal, belum tentu pas pacar siap kita juga siap, begitu juga sebaliknya. Dan bisa saja seseorang siap menikah justru di saat dia sedang jomblo. Dan belum siap menikah juga tidak bisa diartikan orang itu tidak yakin dengan pasangannya. Siapa tahu mereka memang nyamannya pacaran kan?

Atau lagi, kalau saya jawab, nantilah, masih enak sendiri, pasti lebih dihujat lagi. Pacaran dosa-lah, bikin fitnah lah, ngapain kelamaan pacaran lah. Lha wong saya-nya sendiri nyaman-nyaman aja kok pacaran lama, kok dia yang repot. Memangnya saya ganggu mereka dengan saya pacaran? Saya kan nggak pernah pamer kemesraan di depan umum atau melakukan apa pun yang bisa bikin kami dirajam atau diarak keliling kampung, kenapa juga banyak yang berisik. Kalau soal dosa, biarkan Tuhan yang menentukan deh. Tuhan kan menyuruh menjauhi zina. Menghakimi bahwa yang pacaran itu zina kayaknya udah dosa juga deh. Kan kata hadis nabi sebagian prasangka adalah dosa. Siapa tahu mereka pacarannya ngaji bersama dan jadi relawan korban kebakaran kan?

Sekali-kali pengen deh rasanya menjawab "nunggu kamu cerai, kan aku maunya kawin sama suamimu". Biar diam itu mulut bawel. Saya bosan jawabnya, masa kalian nggak bosan sih nanya?

Saya sering (banget) membahas kelakuan orang-orang yang rajin banget nanya kapan nikah ini dengan Mas Hanung, sahabat saya sejak kuliah, yang selalu menjawab pertanyaan kapan menikah dengan jawaban 'nunggu hidayah' (nah loh). Kalau kata Mas Hanung sih, mereka itu social slave, yang sebenarnya nggak peduli sama kita tapi nanya karena emang merasa harus nanya, dan merasa berhak menghakimi orang yang belum menikah dengan hukuman sosial. Baik para jomblo maupun lajang berpasangan akan sama-sama tertekan, yang jomblo makin stres karena belum punya calon, yang berpasangan frustrasi karena terus dikomentari 'pacaran mulu nggak nikah-nikah'. Padahal siapa tahu mereka belum menikah karena ada halangan, kan? Atau siapa tahu dia memang nggak berorientasi menikah? Apa hak kita menghakimi, Gusti Allah saja membiarkan Hitler panjang umur lho, masa kita mau menghakimi orang yang melajang? Kalaupun melajang itu salah, biarkan saja Tuhan yang menghukum di hari kiamat deh.

Comments

  1. suka yang ini: ---> Sekali-kali pengen deh rasanya menjawab "nunggu kamu cerai, kan aku maunya kawin sama suamimu".

    bwahahahaha....ayo njawabnya pake itu aja :D. eh, ntar jawaban ini kupinjam kalo ada yg rese nanya2 lagi yah :p

    ReplyDelete
  2. iya ronaaa... hehehe, ayuk cari2 lagi jawaban yg kreatif yuk, biar mereka bosen nanya :)

    ReplyDelete
  3. I like your point of view...

    kalau saya selalu ingatkan begini: "Tidak seorang pun yang dilahirkan untuk memuaskan semua orang..."

    ReplyDelete
  4. nah betul-betul adhy... kita ga bisa membuat semua orang senang :)

    salam kenal lagi ya!

    ReplyDelete
  5. itu terjemahan bebas potongan salah satu ayat QS. Ali Imran (ah, saya lupa persisnya)

    jadi masalah pandangan setiap manusia itu Tuhan lebih mengetahuinya :)

    ReplyDelete
  6. oohhhh... makasih infonya yah... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku