Skip to main content

Revolutionary Road

How do you break free without breaking apart?

Itu adalah pertanyaan besar sepanjang film ini, yang terus terngiang sampai bertahun-tahun setelah saya menonton film ini. Oke, saya tahu saya selalu menulis tentang film yang sudah bertahun bahkan belasan tahun lalu, tapi tulisan tentang film di blog ini memang bukan sebagai resensi serius, atau setidaknya tulisan yang mencerahkan seperti rekomendasi film-film dari Icha. Semua tulisan tentang film, musik, buku, apa pun di blog ini hanyalah curahan perasaan saya terhadap karya orang lain. Bukan mengomentari karyanya, hanya menceritakan perasaan yang tinggal dalam hati saya setelah menonton, mendengarkan, membaca, melakukan perjalanan, pergi ke suatu tempat, dan seterusnya. Agar kelak bertahun lagi saya masih bisa membacanya. Jadi mungkin yang akan kalian temukan hanyalah tulisan tentang film-film lama, buku-buku yang mungkin tidak populer atau tidak tergolong karya sastra, dan sebagainya (lah kok malah jadi kayak nulis disclaimer ya saya? hehehe).

Sebenarnya saya nonton film ini sejak masih new release. Saya nonton dengan seorang sahabat lama saya yang langsung merasa bosan di setengah jam pertama. Tapi film ini bagi saya meninggalkan kesan yang mendalam, bahkan meskipun film ini bukan film yang ingin saya ingat setiap alurnya, juga bukan film yang ingin saya tonton lagi. Sejujurnya, saya ingin berhenti menontonnya di awal-awal cerita. Saya tidak sanggup. Film ini memukul saya terlalu keras, dan menyisakan sakit yang dalam, meninggalkan bekas luka. Saya melamun berhari-hari, merasa kosong, setelah menonton film ini. Hampa. Itulah satu-satunya perasaan yang tertinggal, sama seperti perasaan yang ditinggalkan film seri Mildred Pierce dan beberapa lagu cinta Iwan Fals. Saya merasa terasing, sepi, sendirian, tanpa tujuan.

Pada dasarnya saya memang orang yang sangat sentimentil (tapi hanya terhadap karya seni, bukan dunia nyata, hehehe). Tidak banyak momen atau manusia yang saya tangisi dalam hidup, tapi tak terhitung lagu, adegan film, potongan cerita dalam buku, bait puisi, bahkan chapter komik yang membuat saya menangis sedih, bahagia, haru ataupun nelangsa. Bahkan matahari terbit, lereng gunung, plang nama toko, tarian, kolase, lukisan, rangkaian bunga dan origami pun bisa membuat saya menangis. Cengeng kan? Saya memiliki sisi sensitif yang aneh, yang saya sendiri tidak mengerti.

Revolutionary Road juga adalah film yang membuat Mr Defender memahami saya. Masa-masa itu adalah fase di mana pertengkaran seperti ini sering terjadi:

Saya  : Keluar yuk.
Mr Defender : Kemana?
Saya  : Ngopi di tempat itu.
Mr Defender : Tapi ini panas banget. Masa ngopi jam segini? Eh lagian kamu kan nggak minum kopi.
Saya  : ..........................
Mr Defender : Kok diam? Kenapa?
Saya  : ..........................
Mr Defender : Eh, yaudah, yuk kita kesana yuk.
Saya  : Nggak. Udah males.

Saya tidak suka ditolak untuk permintaan kecil yang tidak merepotkan. Saya tidak suka ditolak untuk sesuatu yang sepele namun sangat saya butuhkan. Dan saya tidak memberi kesempatan kedua. Membujuk saya setelah menolak saya hanya akan membuat saya lebih sedih dan marah. Entah kenapa. Ini juga salah satu sisi sensitif saya yang aneh, yang di tahun pertama hubungan kami sering membuat saya mendiamkan Mr Defender.

Lalu Mr Defender menonton Revolutionary Road dan dengan cara yang tak terjelaskan, ia mengerti sepenuhnya, dan tidak pernah menolak pada saat saya benar-benar membutuhkannya secara psikologis. Dan secara ajaib ia menjadi tahu kapan saya bisa ditolak, kapan saya harus ditolak, dan kapan seluruh kemauan saya harus diikuti. Saya rasa Revolutionary Road adalah film yang sangat berjasa :) walaupun efek murungnya masih terasa pada saya, hingga hari ini.

Comments

  1. wah, jadi pengen nonton filmnya nih :D

    ReplyDelete
  2. @rona : tapi mgkn filmnya nggak berhubungan sama apa yg kutulis loh ron... hehehe. kan persepsi yg nonton bisa beda2

    ReplyDelete
  3. kalo aku, abis ntn ini jadi benci diri sendiri. entah kenapa...

    ReplyDelete
  4. @mbak ska, iya kan mbak, film ini emg rada2 gimanaaaa gt, makanya aku ga mau nonton lagi, hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku