Minggu lalu, saya dan Mr Defender makan sekotak nasi hantaran dari keluarga tetangga yang baru saja meng-aqiqah-kan anaknya. Nasi hangat dengan dua tusuk sate kambing, tongseng dan acar yang nikmat, dengan sehelai kertas yang memajang foto si bayi dan nama dan tanggal lahirnya, lengkap dengan sebaris doa "Semoga menjadi anak yang soleh, berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama". Lalu saya dan Mr Defender terlibat percakapan panjang, gara-gara tulisan di selembar kertas itu. Bukan, bukan percakapan tentang nama yang akan kami berikan kepada anak kami nanti atau berapa anak yang ingin kami besarkan, tapi tentang sebaris kalimat itu. Semoga menjadi anak yang soleh, berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama. Bahkan sejak baru lahir ke dunia, seorang anak sudah dibebani harapan setinggi itu. Soleh, berguna bagi orang tua, berguna untuk bangsa, berguna bagi agama. Bayangkan betapa beratnya! Tengoklah kita sendiri, berapa umur kita? Adakah harapan tersebut terpenuhi di u...