Skip to main content

Buku Harian


Baru-baru ini, saya menyadari bahwa banyak aktivitas yang dulu saya sukai dan tidak bisa tidak saya lakukan, sekarang ini, sudah lamaaaaa sekali tidak saya sentuh. Misalnya, membuat satu folder khusus berisi lagu-lagu yang sesuai dengan mood saya hari itu (dulu saya mengerjakannya setiap malam sebelum tidur), menyimpannya di mp3 player dan mendengarkannya esok harinya, sambil beraktivitas (sekarang, rasanya lagu di ipod saya itu-itu saja selama berbulan-bulan karena tidak sempat menggantinya). Atau, mencoba resep baru, mengganti beberapa bahannya dengan bahan apa saja yang saya mau (eksperimen ceritanya), dan menulis ulang si resep. Banyak deh aktivitas saya yang hilang, entah karena pertambahan usia (jiah!), kesibukan (ketahuan deh dulu pas kuliah banyakan nganggurnya) atau karena yah memang udah nggak pengen lagi. Menulis buku harian adalah salah satunya.

Saya ingat banget kalau sejak SD sudah menulis buku harian. Semua-muanya saya curhatin di buku itu, mulai dari diomelin guru di sekolah, teman yang nyebelin, orang tua nyebelin (haha). Kayaknya frekuensi menulis saya waktu SD itu jarang disebabkan karena saya hanya menulis saat lagi sedih atau kesal. Kalau lagi senang mana ingat nulis-nulis buku harian segala, hahaha. Lalu waktu SMP buku harian saya penuh nama-nama cowok yang lagi saya taksir. Saya sampai ketawa sendiri membaca buku harian saya waktu SMP, nama cowok yang saya taksir berganti tiap dua tiga bulan, dan saya menulis berbagai lirik lagu jaman itu di buku harian. Lucu. Norak. Berani-beraninya saya ngatain abege jaman sekarang alay, padahal saya waktu SMP super-alay.

Sewaktu SMA, saya lebih sering menulis. Saya menulis tentang semua hal, banyak menulis puisi, mengarang lagu-lagu pendek, macem-macem lah. Saya menulis banyak sekali tentang hubungan saya dengan orang tua, dengan sahabat terdekat saya, dengan beberapa teman yang memusuhi saya semacam di film Mean Girls. Banyak pertengkaran dengan teman-teman terdekat saya, banyak kegalauan yang mulai nampak ke permukaan, dan banyak rintangan yang jika sekarang saya baca kembali, I wonder how I could survive through those times. I was much more lonely back then. Nggak ada yang saya rasa benar-benar memahami saya ketika itu. Sekarang, seberat apa pun masalah yang saya hadapi, saya punya Mr Defender di sisi saya untuk membantu melewatinya. Saya punya Mr Cajoon, Mr Dhammasangani, Miss Sunshine yang selalu mendukung saya. Dulu, walaupun hidup saya jauh lebih meriah, tapi jauh di dasar hati saya sering merasa sepi. Mungkin itu sebabnya saya sekarang tak lagi menulis diary. Sekarang saya bisa menceritakan apa saja kepada orang-orang terdekat.

Tapi, rasanya akan menyenangkan juga kalau saya kembali menulis, dan bukan secara digital. Akan menyenangkan rasanya membaca diary itu bertahun-tahun lagi ketika rasa telah berlalu dan hanya bisa sedikit kita kenang lagi. Mungkin tulisan akan membawa kita kembali ke masa lalu, atau sebaliknya, menyimpan kita di masa depan, seperti Voldemort yang hidup kembali melalui buku hariannya, hehe.

Ayo semangat menulis lagi!


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku