Skip to main content

life in slow motion

Akhir-akhir ini beberapa orang di sekitar saya bilang bahwa saya kelihatan berbeda. Kind of sparkling. Dan mereka bertanya apa yang telah saya lakukan, dengan 'tuduhan' bermacam-macam: memakai produk kulit baru, demabrasi di salon, suntik vitamin C, atau sesimpel bahagia karena akan menikah. Haha.

Sebenarnya, saya juga nggak tahu kenapa aura wajah saya berubah. Saya nggak ke salon dalam tiga bulan terakhir  (bagooossss, calon pengantin macam apa ini, hahaha) jadi raut segar saya (halah) mungkin berasal dari olahraga dan meditasi. Hell yeah I meditate!

Awalnya saya tertarik meditasi karena iseng. Di kosan ada seorang teman beragama Hindu yang rajin yoga, dan dia memperkenalkan saya kepada temannya yang lain, yang beragama Budha, yang mengikuti meditasi di klenteng. Si teman ini, wih, wajahnya berseri tapi lembut, seperti Dewi Kwan Im, haha. Katanya dia begitu karena rajin meditasi. Dan katanya meditasi di klenteng itu terbuka untuk semua agama dan kalangan. Cuma, kelas meditasinya nggak selalu ada, kadang-kadang aja, nggak rutin.

Ya sudahlah saya coba. Bagaimana rasanya? Sama aja kayak meditasi yang ada di youtube, tarik nafas-hembuskan, gitu-gitu aja kok. Heran juga bagaimana orang-orang bisa mendapat pencerahan dengan bermeditasi. Semacam cuma duduk bengong, lalu tadaaaa.... hidupmu membaik.

Lalu, saya mencoba bermeditasi sendiri di kamar dengan menggunakan petunjuk yang diajarkan di klenteng. Duduk, diam, tenang, dalam postur yang baik, bernafas teratur, dan mencoba untuk tidak memikirkan apa pun. Konon katanya meditasi itu bukan mengosongkan pikiran, tapi menenangkan pikiran dari segala hiruk pikuk dan terhubung kembali dengan seseorang di dalam sana: diri kita yang sejati. Maka saya mencobanya, menit-menit hening itu, sepuluh menit setiap hari. Duduk, rileks, bernafas. Mencoba merasakan setiap pergerakan kecil dalam tubuh saya. Hela nafas, detak jantung, aliran darah. Sadar akan fungsi-fungsi tubuh saya, sadar akan sekitar saya. Fokus. Jika ada selintas pikiran yang datang, seperti instruksi tutor, saya tidak berusaha menyingkirkannya, tetapi mencoba menjauh dan membiarkan pikiran itu berlalu. Seperti membayangkan sehelai daun di atas sungai yang mengalir menjauhi kita.

Dan seterusnya. Dan seterusnya. Ajaibnya, meskipun saya tidak tahu apakah teknik meditasi saya benar atau salah, saya merasa membaik. Saya merasa tenang dan rileks. Padahal kan beban hidup nggak berkurang dengan meditasi. Misalkan kita banyak utang kartu kredit, ya tetap saja utangnya nggak ilang. Pacar yang hobi selingkuh masih tetap akan menjadi brengsek. Bos yang menyebalkan, teman yang suka menikung, they all persist. Nggak berubah sama sekali. Dunia tetap sama, tapi cara pandang kita terhadap semuanya yang mengubah segalanya.

Oke, posting ini mulai agak-agak sok bijak. Bukan gitu juga sih maksudnya, cuma mau menjelaskan apa yang saya dapat dari meditasi. Tentu saja meditasi nggak mengubah saya serta merta menjadi searif Tong Samchong atau punya wajah dan aura menenangkan seperti Aa Gym. Saya masih orang yang sama yang bisa emosi dan terganggu karena hal sesepele kasir Robinson yang lelet. Perbedaannya adalah, saya sekarang lebih sadar akan segala hal. Sadar bahwa saya marah, sadar bahwa saya emosi, sedih, dan sebagainya. Sadar bahwa hidup itu ya cuma begini kok, suatu hari semuanya berlalu. Sadar tiap kali bernafas, sampai sadar terhadap rasa lapar dan apa yang saya makan. Nggak berarti saya langsung jadi vegetarian kok, nggak berarti langsung makan sehat juga, tapi saya lebih sadar: oh ini saya makan bakso, oh bakso itu dibuat dari blablabla, oh bakso itu begini. Itu kegiatan yang sesederhana makan bakso aja jadi begitu, haha. Jadi kalaupun saya akhirnya tetap makan bakso, ya saya makan dengan sadar (ealah emang selama ini gak nyadar ya, hahahahaha).

Dan karena jadi lebih sadar (mungkin nggak sesadar diri orang lain yang meditasinya lebih dalam dan dengan cara yang baik dan benar) maka hidup rasanya bergerak lebih lambat. Rasanya tiap mau ngapain itu bener-bener dipikir, disadari akibatnya (walaupun kadang keterusan juga hehehe), dan karena itu hidup serasa slow motion banget. Setiap detik terasa begitu bermakna, dan hiruk pikuk sekitar menjadi lebih sedikit efeknya buat saya. Itu saya lho, pengalaman setiap orang yang bermeditasi mungkin berbeda.

Dan kalau gara-gara itu wajah jadi lebih berseri, buat saya itu bonus yang alhamdulillah banget, hehehehe. Amiiiiiinnn.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku