Skip to main content

It's Kind of A Funny Story


Saya suka film ini. Haha. Pasti pada tau semua deh kalau saya memang suka sama film-film tentang penyakit jiwa (bukan film tentang pembunuh psikopat atau thriller yang ujungnya orang yang bi-personality lho tapinya). Bukan, bukan karena saya sedang merawat calon mertua yang bipolar sehingga saya butuh tambahan ilmu, tapi karena entah bagaimana caranya, film-film seperti itu bisa memencet tombol pause dalam hidup saya, bikin tiba-tiba jleg!! semua berhenti dan saya jadi sadar sesuatu, lalu nangis sampai tersedak, atau ketawa guling-guling, atau cuma bengong galau seharian. Dan ada sesuatu yang tersentuh di dalam sana, sesuatu yang berubah tanpa saya sadari, jauh di dalam diri saya.

Kalau film yang ini... hm, pada dasarnya saya suka sih semua film tentang usaha mencari jati diri, menemukan passion, menemukan arah hidup yang dimau, persis yang dilakukan Craig di film ini. Dan setelah melihat film ini saya jadi makin takut punya anak, sebab saya nggak benar-benar tahu gimana membesarkan anak dengan benar tanpa harapan berlebihan. Oh well. Dan jadi makin tahu bahwa kita ini, semua orang, nyaris semuanya, sebenarnya hidup tanpa sadar apa yang dimau dan mau dibawa ke mana hidupnya. Hidup mengejar sesuatu yang padahal bukan itu sebenarnya yang kita mau. Untuk siapa? Keluarga, orang tua, atau malah bukan siapa-siapa sama sekali? Sebanyak apa kita hidup hanya untuk citra, yang semu? Bahkan, bagaimana kita tahu mana yang nyata dan mana yang semu?

Saya juga suka bahwa film ini dibuat dengan ringan tanpa mencegah esensinya masuk ke hati penontonnya. Ah, I love how everything is so natural in this movie. I love Zach. I love Jeremy Davis. And I've watch this movie a couple few times I should really stop. Hahaha.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku