Minggu lalu, saya dan Mr Defender makan sekotak nasi hantaran dari keluarga tetangga yang baru saja meng-aqiqah-kan anaknya. Nasi hangat dengan dua tusuk sate kambing, tongseng dan acar yang nikmat, dengan sehelai kertas yang memajang foto si bayi dan nama dan tanggal lahirnya, lengkap dengan sebaris doa "Semoga menjadi anak yang soleh, berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama".
Lalu saya dan Mr Defender terlibat percakapan panjang, gara-gara tulisan di selembar kertas itu. Bukan, bukan percakapan tentang nama yang akan kami berikan kepada anak kami nanti atau berapa anak yang ingin kami besarkan, tapi tentang sebaris kalimat itu.
Semoga menjadi anak yang soleh, berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama.
Bahkan sejak baru lahir ke dunia, seorang anak sudah dibebani harapan setinggi itu. Soleh, berguna bagi orang tua, berguna untuk bangsa, berguna bagi agama. Bayangkan betapa beratnya! Tengoklah kita sendiri, berapa umur kita? Adakah harapan tersebut terpenuhi di umur kita yang sekarang? Belum?
Ah, itu kan cuma doa. Doa harus setinggi mungkin, dong. Benar. Tapi sadarkah para orang tua bahwa mereka, dengan atau tanpa sadar mungkin telah memaksakan ini dan itu kepada anak-anak mereka, walau dengan alasan demi kebaikan si anak. Dan mungkin maksudnya memang benar demi kebaikan. Orang tua mana yang tidak menginginkan kebaikan anaknya?
"Apakah anak yang baik pasti bahagia?" Mr Defender bertanya kepada saya. Pertanyaan yang kami sama-sama sudah tahu jawabannya.
"Nanti kalau bikin selamatan untuk aqiqah anak, kita tulis saja Semoga menjadi anak yang berbahagia. Nggak apa kalau anak kita nggak berguna bagi kita, nggak apa kalau dia nggak jadi anak soleh, lagipula apa definisi soleh? Siapa yang menetapkan ukuran? Biarlah dia nggak nasionalis, asal dia bahagia. Kita akan lebih bahagia jika dia bahagia daripada melihat dia berguna."
Saat itu saya tahu apa yang dimaksudkan orang sehati sejiwa. I feel you. I'm glad it's you the person I be with.
Semoga menjadi anak yang soleh, berguna bagi orang tua, bangsa, dan agama.
Bahkan sejak baru lahir ke dunia, seorang anak sudah dibebani harapan setinggi itu. Soleh, berguna bagi orang tua, berguna untuk bangsa, berguna bagi agama. Bayangkan betapa beratnya! Tengoklah kita sendiri, berapa umur kita? Adakah harapan tersebut terpenuhi di umur kita yang sekarang? Belum?
Ah, itu kan cuma doa. Doa harus setinggi mungkin, dong. Benar. Tapi sadarkah para orang tua bahwa mereka, dengan atau tanpa sadar mungkin telah memaksakan ini dan itu kepada anak-anak mereka, walau dengan alasan demi kebaikan si anak. Dan mungkin maksudnya memang benar demi kebaikan. Orang tua mana yang tidak menginginkan kebaikan anaknya?
"Apakah anak yang baik pasti bahagia?" Mr Defender bertanya kepada saya. Pertanyaan yang kami sama-sama sudah tahu jawabannya.
"Nanti kalau bikin selamatan untuk aqiqah anak, kita tulis saja Semoga menjadi anak yang berbahagia. Nggak apa kalau anak kita nggak berguna bagi kita, nggak apa kalau dia nggak jadi anak soleh, lagipula apa definisi soleh? Siapa yang menetapkan ukuran? Biarlah dia nggak nasionalis, asal dia bahagia. Kita akan lebih bahagia jika dia bahagia daripada melihat dia berguna."
Saat itu saya tahu apa yang dimaksudkan orang sehati sejiwa. I feel you. I'm glad it's you the person I be with.
Comments
Post a Comment