Skip to main content

hujan edelweiss


Beberapa tahun lalu, ketika kami menghabiskan malam di sebuah lembah kaki gunung, saya pernah berbicara begitu banyak tentang Mr Defender kepada salah satu teman terbaik saya Mr Cajoon. Salah satu perkataan saya yang masih saya ingat sampai hari ini, adalah seperti ini:
terlepas dari aku suka sama dia, dia itu salah satu orang paling baik, paling kuat, paling bermoral yang aku tau, dan dengan siapa pun aku berjodoh nantinya, aku nggak akan menyesal pernah ngomong kayak gini tentang dia
Di masa-masa itu, alangkah sering saya mengucapkan 'entah kami berjodoh atau tidak...', 'entah siapa pun jodohku nanti...' atau 'entah apakah hubungan ini berjalan berapa lama...' setiap kali saya membicarakan Mr Defender dengan teman-teman saya. Lucu, kalau dipikir-pikir, sebelum bersama Mr Defender saya adalah orang yang tidak pernah memikirkan suatu hubungan akan dibawa ke mana, saya hanya menjalani, menikmati setiap detik dan mensyukuri setiap kenikmatan yang dibawa oleh hubungan itu. Kalau sudah waktunya berhenti, kalau jodoh sudah kadaluarsa, ya sudah. Tidak pernah saya memproyeksikan sebuah hubungan dengan masa depan. Itu hanya akan menghilangkan kesenangannya dan memberi banyak beban pada hubungan itu.

Bersama Mr Defender, untuk pertama kalinya dalam sejarah saya berhubungan dengan seseorang, saya begitu bahagia dan sekaligus putus asa bahwa hubungan itu tidak akan bertahan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya begitu menginginkan sesuatu namun sekaligus tidak berdaya karena tahu bahwa mungkin mustahil saya akan memperoleh sesuatu itu. Lucu, bahwa cinta bisa menjadikan seseorang begitu kuat dan sekaligus rapuh pada saat yang sama.
seumur hidup aku nggak pernah secengeng ini, kan?

Malam itu, kabut gunung membuat jarak pandang begitu pendek. Gulita total. Namun, yang saya lihat hanyalah hamparan padang edelweiss. Putih dan mendamaikan.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku