Skip to main content

15 tahun ke depan

15 tahun ke depan, saat kewajiban saya kepada negara dalam bentuk ikatan dinas ini sudah berakhir, dan orang tua saya sudah bahagia karena saya sudah memenuhi keinginan mereka untuk menjadi pegawai negeri, dan jika beban pikiran saya akan adik-adik sudah berkurang karena mereka sudah dewasa, inilah yang saya inginkan: Sebuah rumah, besarnya sedang saja, akan lebih baik kalau rumah itu seluruhnya dari kayu, berbentuk panggung, dari terasnya saya bisa memandang halaman dan pohon-pohon mangga, jambu, air rambutan, juga tabueia kuning dan merah muda. Mungkin juga tanaman cabai, tomat, timun dan jeruk nipis yang siap dipetik. Di sela-selanya anak-anak saya, seandainya Tuhan memberikan, akan berlarian dengan bebas, telanjang kaki, mungkin bermain petak umpet atau belajar naik sepeda. Saya, di siang hari yang panas, akan berada di teras, membuat boneka atau gantungan kunci dari kain felt, atau membuatpunch buah dan muffin keju, atau menulis cerita pendek dan melukis gambarnya sendiri untuk mereka, seperti buku dongeng bergambar. Atau mungkin saya hanya duduk diam membaca buku apa saja yang baru saya beli, mungkin sambil mendengarkan salah satu CD Bob Dylan.

Oh, ya, rumah saya. Rumah saya terletak di pedesaan, di pulau mana saja boleh, asalkan berpenduduk ramah dan baik hati. Ada sawah dan sungai di sekeliling, ada tetangga-tetangga baik hati yang tak lupa menyapa setiap kali berpapasan dan berbagi makanan entah itu tape ketan atau kroket kentang. Mungkin saya akan menjadi dosen, guru SD, tukang jahit atau penjual kue. Mungkin Mr Defender menjadi ayah anak-anak saya, mungkin juga tidak, tapi saya lebih suka membayangkan ya. Mungkin dia masih bekerja di tempat yang sekarang, tapi saya lebih suka membayangkan tidak. Saya lebih suka membayangkan dia menjadi pelatih sepakbola atau guru olahraga di sekolah. Atau menjadi gitaris kafe seperti dulu. Atau mungkin kami akan membuka rumah makan kami sendiri di pinggir kota. Rumah makan kecil, dengan lima sampai sepuluh meja, mungkin menjual pancakes dan wafel, mungkin juga sop iga.

Di hari libur kami akan mendaki gunung, atau hiking di hutan, atau bersepeda di bukit terjal. Kami akan berkemah. Kami akan mengajari anak-anak kami bermain gitar, keyboard dan biola. Dan mereka akan memainkan lagu-lagu yang indah untuk kami. Rumah itu akan penuh dengan pelukan dan ciuman dan ucapan terima kasih dan maaf dan tolong, penuh dengan buku, musik, tanaman, dan binatang, penuh dengan energi, mimpi kanak-kanak, dan cinta. 

15 tahun ke depan. Usia saya akan di penghujung kepala tiga, dan hidup mungkin sedang seru-serunya untuk dinikmati.

15 tahun, semoga waktu yang cukup untuk mewujudkannya.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku