Skip to main content

Norwegian Wood


Sebelum memulai postingan ini saya akan membuat pengumuman: Norwegian Wood adalah salah satu buku yang paling saya suka. Saya sudah membacanya sekitar 40-50 kali dan masih tetap merasa tersihir setiap kali membacanya. Dalam satu kata, buku ini bagi saya adalah kepahitan, bitterness. Mungkin dalam kondisi tertentu, di suatu titik buku ini bisa menginspirasi seseorang untuk bunuh diri, atau minimal mengembara tanpa kabar. Kalau saya sih, membaca buku ini bisa membuat saya diam seharian, berpikir dan merenung seminggu berikutnya, dan membekas sampai sekitar dua minggu setelahnya. Demikian setiap saya membacanya, siklus itu selalu berulang. Mr Defender bilang membaca buku ini seperti menyiksa diri a.k.a self torturing buat saya, hahahaha. Saya setuju dengan komentar seseorang (lupa) di halaman belakang buku ini, yang kira-kira berbunyi: begitu halusnya Murakami menulis sehingga apa yang ditulisnya tanpa disadari menggerakkan sesuatu dalam diri pembacanya, sesuatu yang bahkan si pembaca sendiri tidak tahu apa.

Ah ya, tapi kali ini saya tidak akan menulis tentang buku ini, tetapi filmnya. Sejak melihat trailer film ini di HBO beberapa bulan yang lalu, saya langsung ingin menontonnya. Bukan saja karena trailernya bagus, tapi terutama saya memang ingin menyaksikan visualisasi buku ini. Saya menunggu-nunggu, membayangkan adegan Naoko dan Watanabe berjalan di padang, membayangkan Naoko dengan jas hujan kuning di hari bersalju, dan secara umum saya membayangkan Naoko. Wajahnya, bahasa tubuhnya, kecantikannya yang sempurna dan misterius.


Lalu ketika akhirnya saya menonton film ini, apa ya... latar belakang filmnya memang secantik yang saya bayangkan. Juga Naoko. Filmnya seperti diambil di negeri khayalan, begitu indah, saking indahnya terasa tidak nyata (apa ya kata pengganti bahasa Indonesia yang tepat untuk whimsical?). Tapi yang agak sayang sih karena sudut pandang 'aku' di buku ini hilang, jadi terasa ada yang mengganggu, sebab keseluruhan emosi yang timbul saat membaca buku ini dibangun dari keakuan Watanabe, keacuhtakacuhannya menghadapi segala hal, cara hidupnya yang mengalir, dan karakternya yang tak berkarakter namun justru itu menjadikannya menonjol. Dalam film ini, penonton yang belum membaca tidak akan tahu latar belakang perilaku seksual Watanabe, dan jadinya Watanabe malah terlihat seperti seks maniak (atau mungkin cuma perasaan saya). Film ini jadinya seperti cuma berkisah tentang Watanabe dan cinta segitiganya dengan Naoko dan Midori, padahal yang di buku, sebagian besarnya adalah tentang hidup dan kematian itu sendiri. Ikatan Watanabe dengan masa lalunya tidak terasa menonjol, dan hubungan Watanabe dan Midori di film ini sangat terasa seperti happy ending love story, padahal sebenarnya tidak tepat begitu. Tapi mungkin itu adalah interpretasi si pembuat film saat membaca buku ini, sedangkan saya memperoleh interpretasi yang berbeda saat membacanya. Bukankah justru itu menariknya sebuah karya?


Yang saya paling suka dari film ini justru penokohan Midori, yang paling mirip dengan karakter di buku, bahkan lebih berwarna. Juga gaya berpakaian Kiko Mizuhara yang memerankan Midori, saya suka sekali gaya vintage yang tidak suram, ceria, manis tapi juga lembut. Juga, tentu saja, lagu-lagu the Beatles yang menjadi nuansa film ini, seperti juga bukunya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...