Skip to main content

kita semua begitu




Lagu yang sesuai dengan isi tulisan nggak penting saya (boleh dibaca sambil diputar lagunya biar lebih 'dapat' suasana hati saya pas menulis ini)

Saya punya seorang sahabat, Miss Turquoise, yang pernah mengalami patah hati berat dan membutuhkan waktu yang (menurut banyak orang) sangat lama untuk sembuh dari patah hatinya itu. Banyak orang, bahkan di lingkungan pertemanan kami berdua yang heran kenapa butuh waktu yang lama sekali untuknya sembuh dan melupakan mantan pacarnya itu.

Kemarin, seseorang bertanya kepada saya, bagaimana saya dan Mr Backpack bisa berpisah 'baik-baik' dan tetap berhubungan baik pasca perpisahan kami. Dia bilang, sebenarnya dia nggak percaya ada yang namanya putus baik-baik (kalau baik-baik ya nggak putus dong, begitu logikanya). Maka, maksud sebenarnya pertanyaannya adalah, apakah saya dan Mr Backpack benar-benar putus baik-baik dan apakah saya dan Mr Backpack saat ini sebenarnya cuma pura-pura tetap berteman baik padahal dalam hati masih ada yang mengganjal. Sebab, ia sendiri sudah setahun putus dengan pacarnya dan sampai sekarang, jangankan untuk berteman, bertegur sapa sekedarnya pun ia tak sudi.

"Kok lo bisa sih putus dengan tenang dan santai banget gitu?" begitu ia bertanya. "Apa emang lo udah benar-benar sedewasa itu dalam sebuah hubungan?"

Oh, saya nyaris tertawa. Seandainya saja dia tahu betapa saya pernah meneror Mr Summer, mantan pacar pertama saya karena tidak rela dia pindah ke lain hati (akan saya tulis tersendiri nanti), atau bahwa saya pernah sampai sakit seminggu, mengasihani diri seperti orang putus asa, bahkan sampai melakukan perjalanan keliling Kalimantan sewaktu baru putus dengan Mr Ladykiller (nanti akan saya tulis juga kalau sempat tapi yang ini nggak janji, soalnya kalau ingat masa itu rasanya saya pengen terjun ke sumur sambil teriak 'what  the hell was I thinking?!'). Ya, intinya, saya juga nggak sedewasa itu kali. Saya juga pernah mengalami masa-masa kelam setelah putus cinta, baik yang norak menye-menye maupun yang benar-benar menyakitkan hati.

Tapi, menjawab jujur pertanyaannya, apakah saya dan Mr Backpack putus baik-baik? Jawaban saya adalah, tidak tahu. Saya tidak tahu definisi pasti putus baik-baik. Tetapi, saya dan Mr Backpack berpisah karena di antara kami memang sudah tidak ada percikan-percikan kembang api di mata dan tarian kupu-kupu di perut yang mendebarkan hati itu. Jangan kira kami berdua (atau setidaknya saya) kurang berusaha untuk mempertahankan. Tapi seperti yang dulu pernah saya tulis di sini, yang terjadi antara saya dan Mr Backpack itu sungguh hanya alam semesta yang tahu. Mungkin itu kebenaran dari kalimat klise 'kalau nggak jodoh mau apa lagi'. Saya dan Mr Backpack tidak ada keluhan tentang satu sama lain, tapi setelah menjalani hubungan selama tiga tahun lebih (dengan dua kali putus sambung) kami memutuskan bahwa kami bukan orang yang tepat untuk satu sama lain.

Dan untuk pertanyaannya, apakah saya hanya pura-pura berteman, maka saya bisa menjawab tegas, tidak. Saya tulus dengan seluruh persahabatan dan doa saya untuknya, sebelum dan sesudah saya putus. Perpisahan kami (juga perpisahan saya dengan semua mantan saya) tidak mengubah apresiasi saya kepadanya, bagi saya dia masih orang yang sama: baik hati, lembut, sederhana, dan sangat gentleman.

Apakah ada yang penasaran, apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak menyesali tiga-empat tahun kebersamaan saya dengan Mr Backpack. Tidak pernah menganggap itu sebagai kesia-siaan, meskipun kami akhirnya berpisah (sejujurnya sih saya memang nggak pernah berpikir 'sayang ah, udah tiga tahun masa  harus pisah' saya lebih berpikir 'masa sih mau seumur hidup sama orang yang salah'). Masa saya bersama Mr Backpack sangat indah dan menyenangkan, dan dia adalah orang yang banyak mengubah saya menjadi orang yang lebih baik dan dewasa. Tapi, saya juga tidak menyesal berpisah dengannya. Memang sih, setahun lalu saya masih sering terkenang padanya, terutama saat saya jalan-jalan keliling Jakarta di malam hari, atau saat saya mendaki gunung. Bahkan sekarang pun, kenangan tentang dia kadang-kadang masih muncul, menyisakan perasaan yang manis, namun hanya itu saja. Saya tidak berandai-andai kami bersama lagi. Bahkan seandainya waktu bisa berulang pun, saya akan mengambil keputusan yang sama. Tapi, itu tidak mengubah kenyataan bahwa Mr Backpack pernah menjadi bagian penting dalam hidup saya, pernah saya cintai dan mencintai saya, pernah memberi saya begitu banyak kebahagiaan, dan selamanya akan seperti itu. Mr Backpack adalah sebagian dari diri saya yang tidak akan bisa saya mutilasi, suka atau tidak.

Jadi, saya pikir, sebenarnya saya sama saja dengan Miss Turquoise dan teman yang bertanya pada saya itu. Kami sama-sama belum (atau mungkin tidak akan) melupakan mantan pasangan, walaupun mungkin caranya berbeda. Saya, tentu saja juga sedih, kehilangan, bahkan sempat bertanya-tanya apakah saya sudah membuat keputusan yang benar. Tapi pada akhirnya saya merasa lega dengan apa yang telah saya lakukan. Saya telah menutup satu pintu dan membuka kesempatan bagi pintu lain untuk terbuka. Dan sekali lagi saya ingin bilang, bahwa sekalipun perasaan cinta (yang romantis) antara daya dan Mr Backpack mungkin sudah meredup saat kami berpisah, namun saya tetap luar biasa sedih dan luar biasa kehilangan setelah perpisahan itu. Siapa sih orang yang nggak sedih berpisah dengan pasangannya? Reaksi kita semua terhadap perpisahan itu sebenarnya sama kok. Tidak ada orang yang bisa benar-benar  menjadi 'orang dewasa berkepala dingin' (apa pun artinya itu) ketika berpisah dengan orang yang dicintainya. Sama seperti yang dikatakan Bob Dylan di lagunya, "you make love just like a woman, you ache just like a woman, but you break just like a little girl".

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku