Skip to main content

Yakin dengan komentar anda?


Kemarin saya nggak enak badan, jadi saya tidak masuk kantor. Siang hari saat saya tidur-tiduran di bawah selimut (yang mana hari berhujan jadi terasa sangat nikmat) saya iseng-iseng berkirim pesan dengan Miss Sunshine, sahabat perempuan saya yang berdomisili di ibukota.
Blablabla dan blablabla, lalu dia mengirim : baca versi online koran X deh, sedih baca komentar-komentarnya.

Saya, karena penasaran, tapi sedang nggak bisa online karena laptop ditinggal di kantor, akhirnya ngesot ke kamar sebelah meminjam laptop dan modem demi membuka laman yang dimaksud. Dan di situlah saya baca sebuah berita tentang kegagalan tim eskpedisi Gunung Elbrus mapala kami mencapai puncak karena badai salju. Beritanya sih fakta ya, tapi lalu di bawahnya banyak sekali komentar pedas, mulai dari yang membodoh-bodohkan manajemen dan atlet, menyayangkan, mempertanyakan sumber dana, sampai menjelek-jelekkan mapala kami, melenceng dari isi berita. Miss Sunshine mencantumkan komentarnya juga, menyatakan kebanggaannya menjadi bagian dari manajemen ekspedisi dan terutama menjadi bagian dari mapala kami.

Waktu itu saya nggak seemosional Miss Sunshine sih, soalnya sejak beberapa waktu lalu Mr Defender memaksa saya menempelkan tulisan 'berpikir dengan pola pikir orang lain, melihat dari sudut pandang orang lain' di cermin. Jadi pas mau emosi otomatis ingat. Yah kan di mana-mana yang namanya berkomentar lebih mudah, lagipula yang namanya penonton kan maunya melihat hasil, mana mau mereka melihat proses di balik jungkir baliknya mapala kami mengumpulkan dana dan memberangkatkan atlet ke Rusia. Jadi ya sudahlah. Tapi kemudian, saya jadi merasa tertohok juga kalau ingat betapa mudahnya saya selama ini juga memberikan komentar di berita, thread, atau postingan di dunia maya.

Selama ini, alangkah mudahnya saya memberikan komentar, misalnya terhadap kebijakan pemerintah, berita kerusuhan, atau kejadian apa pun, dari sisi saya. Walaupun saya selalu mencantumkan identitas (tidak seperti mereka yang menjelekkan mapala kami dan tentunya memilih anonim) tapi kemarin setelah dipikir lagi, ternyata saya juga nggak jauh beda dengan mereka. Menghakimi hanya dengan sepotong berita yang bahkan tidak bisa saya yakini kebenarannya, apalagi repot-repot melihatnya dari sudut pandang orang yang diberitakan. Kadang lucu juga sih, kalau sadar bahwa kebebasan berpendapat justru membuat kita jadi orang yang kurang beradab dan tidak bertanggung jawab. Coba, sering kan ngomentarin RT-an dari tweet seleb atau politikus yang kita bahkan nggak tau apa yang terjadi. Asal nyela, asal ikut menghakimi, hanya karena banyak orang yang juga melakukannya. Coba kalau kita sendirian, jangankan menghujat, jangan-jangan kita malah ikut mendukung.

Yah, mau gimana pun juga yang kayak gitu udah jadi konsekuensi kebebasan berekspresi dan berpendapat sih. Nggak berharap juga orang bakalan lebih beradab dalam memanfaatkan informasi dari internet. Yang penting buat saya kejadian kemarin itu cukuplah menjadi sebuah tamparan dan balasan atas apa yang selama ini saya sering lakukan (walaupun nggak bisa jadi pembenaran ya buat mereka yang komentar anonim di artikel dimaksud). Semoga di kemudian hari saya bakalan ingat kejadian ini dan ingat betapa nggak enaknya menjadi pihak yang dihakimi, sebelum saya mengomentari orang lain, walaupun itu hanya di dunia maya.

Comments

  1. tulisan yang menarik

    #saya lagi koment.hhe

    tetap nulis yah mbak :)
    tulisannya bagus2

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas kunjungannya uchank :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...