Skip to main content

It's (Not That) Complicated


Mumpung hasrat menulis sedang bagus, saya akan menulis tentang film-film yang kemarin ingin saya tulis (untuk dikenang sendiri) tapi nggak sempat sempat (baca: malas). Sekali lagi saya memberi disclaimer bahwa tulisan saya bukan resensi, tidak memuat alur, nama pemain dan sebagainya, hanya tentang perasaan saya setelah menonton film ini.

Tapi, kali ini, biarlah saya menulis sedikit. Film ini berkisah tentah Jane, seorang janda yang telah bertahun-tahun berpisah dengan Jake, mantan suami dan ayah dari ketiga anaknya, karena Jake berselingkuh darinya. Jane merasa setelah bertahun-tahun berlalu, dia dapat mengatasi kesedihan, kehilangan, kemarahan, apa pun emosi yang tersisa dari perceraian itu, tapi kemudian sesuatu terjadi dan tadaaa, Jane tiba-tiba sudah berkencan dengan Jake (yang sudah menikah lagi), padahal saat itu, arsiteknya, Adam, diam-diam menyukainya dengan tulus.

Saya suka film ini karena penuh kejutan, endingnya (menurut saya) tidak klise, dan karakter para tokohnya tidak berlebihan. Saya sangat suka bagian di mana Jane bertanya pada terapis/psikolog tentang kencannya dengan Jake. Jane mendaftar alasan yang kira-kira membuat dia bisa-bisanya bersama Jake lagi: masalah yang belum selesai, cinta yang belum hilang, balas dendam, ataukah sekedar kesepian. Film ini penuh dengan percakapan kocak namun menyentil, yang membuat saya tertawa sekaligus menangis membayangkan apa jadinya pernikahan saya 20 tahun ke depan (menikah saja belum ya). Lucu sekaligus menggelitik pas menyaksikan momen-momen Jane antara merasa bersalah atau seru-seru menantang dalam perselingkuhannya. Gemas dengan kelakuan Jake yang kadang sangat tidak gentleman. Suka dengan penggambaran hubungan Jane dan Adam yang begitu pas, tidak romantis berlebihan, juga tidak kaku. Saya kira semua wanita dewasa akan menyukai film ini sebagai versi perempuan dari film The Hangover, hahahaha.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku