Skip to main content

berkata hai pada Tuhan

gambar dari sini

Beberapa pergulatanku dengan diri sendiri dan (mungkin) Tuhan akhir-akhir ini. Dibagi di sini, sekedar untuk membagi kegelisahan dan perenungan saya.

Yang pertama, Tuhan, sungguhkah agama berasal dari-Mu (ya, sekarang aku menulis namamu dengan huruf besar, walau aku sangat yakin bagimu tak ada bedanya. Bukankah Engkau tak perlu dimuliakan untuk menjadi mulia, karena mulia adalah keniscayaan bagiMu, sama juga tak ada bedanya aku menyebutmu Tuhan, Allah, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, God, Yahweh, atau bahkan kalau aku memanggilmu Dear Darling, Pelita Hati, Cintaku, aku yakin Engkau tahu aku mengacu padaMu)? Sungguhkah Tuhan, Engkau menciptakan cara bagaimana Engkau ingin disembah? Ataukah sesungguhnya Engkau tak memerintahkan apa pun kecuali kebaikan, lalu manusia sendiri yang menciptakan berbagai cara untuk menyembah dan memujiMu?

Tuhan, pertanyaanku yang kedua, apabila Engkau menjawab ya pada pertanyaanku yang sebelumnya, sungguhkah hanya satu agama yang Engkau izinkan pemeluknya memasuki surgaMu? Sungguhkah, Tuhan? Sungguhkah orang-orang baik dari agama-agama selain yang berasal dariMu akan terusir dari pintu surgaMu? (Oh, tentu aku tidak akan mempertanyakan mengapa, seandainya jawabanMu adalah ya. Engkau Tuhan. Segalanya adalah kuasaMu.)

Pertanyaanku yang ketiga, Tuhan, sungguhkah Engkau menganggap mereka yang menistakanMu, atau mereka yang tidak menyembahMu dengan cara yang Engkau mau sebagai musuhMu? Dan seandainya ya, sungguhkah Engkau memerintahkan mereka yang menyembahMu sebagaimana Engkau haruskan untuk memusuhinya? Untuk memeranginya dengan namaMu, demi kejayaan agama yang Engkau turunkan ke dunia, walaupun itu mengorbankan kedamaian, juga nyawa orang-orang baik yang mungkin menurutMu tersesat, juga nyawa orang-orang yang mungkin tidak mengerti, dan sekalipun itu nyawa orang-orang jahat, sungguhkah mereka harus menerima hukuman selain dariMu? Bukankah Engkau menunggu hingga hari pembalasan, Tuhan? Mengapa manusia di dunia harus menegakkan hukumMu sebelum Engkau? Bukankan mudah saja bagiMu menurunkan hukuman? Mengapa harus manusia yang menghukum dengan tangannya?

Yang di atas adalah dua pertanyaan. Baiklah, yang kelima. Tuhan, adakah kesempatan bagiku untuk mengetahui semua jawaban pertanyaanku dariMu, bukan dari mereka yang merasa memahamiMu, atau dari kitab yang semuanya mereka klaim dariMu? Adakah kesempatanku untuk tahu (bukan hanya yakin dan percaya) sebelum nanti di hari perjumpaanku denganMu di alam yang lain? Adakah aku bisa beruntung seperti rasulMu dan mereka yang Engkau pilih untuk langsung berbicara denganMu? (Oh, aku tahu aku sangat hina dan tidak pantas mengajukan permintaan berbicara denganMu di dunia ini, tapi bukankah Engkau menciptakan aku sebagai manusia sama seperti para rasulMu? Engkau yang menjadikan aku dan mereka baik atau jahat, karena Engkaulah yang menciptakan otakku, hatiku, Engkau memilih dari ibu dan bapak mana aku dilahirkan,  Engkau yang menentukan level pendidikan dan sifat kedua orangtuaku, juga sejauh mana mereka mengenalMu. Engkau memilih di lingkungan mana aku dibesarkan, siapa guru yang mendidikku, siapa temanku, siapa yang membentuk pribadiku, dan dengan demikian, dariMulah segala yang ada padaku berasal, Engkau yang menjadikanku aku. Oh Tuhan, sungguh sering aku ingin bertanya, adilkah Engkau memasukkan seseorang ke surga karena dia rajin beribadah, sementara dia lahir dari keluarga yang taat pada perintahMu, dan Engkau memasukkan yang lain ke neraka karena lalai, sedang dia tak pernah diajarkan menyembahMu? Tapi Tuhan, pertanyaan itu tidak relevan, karena Engkau Tuhan, dan semuanya adalah kuasaMu.)

Tuhan, aku senang bercakap-cakap denganMu, dan aku merasa entah bagaimana Engkau di dalam diriku menjawab, Engkau bicara dalam bisikan perlahan, Engkau memegang jantungku dan memberiku keyakinan. Dan aku percaya semua orang bisa bertanya, dan Engkau akan menjawab, namun kami dan juga mereka mungkin tidak memahami bahasaMu, kami mendengar apa yang kami ingin dengar. Dan mungkin kami salah menginterpretasikan maksudMu, juga padaku kali ini. Namun aku lega sudah bertanya, Tuhan.

Terima kasih, Tuhan. Mahabesar dan Mulia Engkau.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...