Skip to main content

kebebasan (menikmati) musik

gambar dari sini
 Saya seorang yang visual, menyukai segala sesuatu yang visual (foto, gambar, lukisan, bahkan saya lebih suka membaca komik atau buku dongeng anak yang banyak gambarnya daripada novel tebal), namun selain itu, saya juga (bahkan cenderung lebih) adalah seseorang yang sangat audio, atau katakan sajalah sangat musikal. Saya salah satu yang tergambar dalam survey tentang musik yang diadakan majalah Rolling Stones tahun lalu, bahwa jika saya diharuskan untuk membuang semua jenis hiburan yang bisa saya dapat kecuali satu, maka musiklah yang akan saya pilih untuk tidak dibuang. 
Sejak TK saya mendengar berbagai jenis musik dari bapak saya yang seniman (amatir) kerawitan namun juga menyukai lagu-lagu Iwan Fals, Rahmat Kartolo,  Ebiet, God Bless, Koes Plus, Michael Jackson, dan tentu saja Beatles :D dan ibu saya yang penggemar Iga Mawarni, Anggun, Dian Piscesa, Betharia Sonata, dan (pada dasarnya) semua penyanyi cewek era mudanya. Saya mendengarkan semua kaset  yang ada di rumah (termasuk lusinan kaset tembang jawa full orchestra gamelan milik bapak saya yang merupakan warisan dari kakek saya) dan menonton semua acara musik di TVRI (oh silakan mengejek). Saya juga senang memainkan alat musik (tapi tidak bisa menyanyi) yang dimulai dengan belajar memainkan saron dan gambang waktu kelas satu SD karena selalu diajak bapak saya ke tempatnya latihan gamelan, belajar harmonika dari almarhum om saya, bermain gitar (asal-asalan) milik sepupu, lalu ikut les ansambel dengan tekun selama dua tahun sewaktu SMP. Dalam kurun waktu dua tahun itu alat musik  yang berhasil saya kuasai (sekadarnya) adalah rekorder, tamborin, pianika, keyboard, dan berbagai jenis alat musik ritmis seperti marakas, triangel, dan entah apa lagi namanya (sejujurnya saya holaholo ala orang linglung kalau kebagian main alat musik ritmis waktu itu, habis cuma berapa kali beraksi sepanjang lagu). Jaman itu juga adalah masa-masa saya menikmati musik dengan tulus, saya mendengarkan semua band pop rock yang sedang ngetop waktu itu, lagu-lagu cinta klasik berbahasa Inggris, Britney Spears dan Mandy Moore dan Jessica Simpson, juga simfoni-simfoni Bach dan Beethoven. Saya yang waktu itu mendengarkan musik tanpa memisahkan genre (seperti yang saya lakukan sekarang) dan tanpa berkomentar musik ini keren musik itu sampah (yang sekarang sedang saya usahakan saya hentikan setelah saya lakukan bertahun-tahun). Waktu itu saya belum punya akses informasi yang luas dari majalah musik atau internet seperti sekarang, paling dari koran atau majalah langganan bapak ibu (saya menggunting semua artikel tentang musik dan membuat klipingnya, waktu kelas 3 SMP sudah ada sekitar 4 kliping dengan tebal masing-masing 5 cm) tapi seluruh opini saya tentang musik kesukaan saya waktu itu (Beatles, Gigi, Metallica, Koes Plus, Naif, The Corrs, di antaranya) adalah dari musik yang saya dengar, bukan opini orang yang saya baca (well, saya dan banyak orang sekarang rasanya sering sekali menghina Kangen Band and the gank lebih karena apa kata majalah Rolling Stones dibanding karena beneran nggak suka, akui sajalah -- eh dan jangan salah, saya bukan fans Kangen Band, ini contoh saja).

Saya merindukan masa-masa itu, di mana kebahagiaan mendengarkan dan memainkan musik masih belum tercampur gengsi bisa menonton gigs besar dan konser tunggal berharga sejuta rupiah, belum tercampur kebanggaan membeli CD musisi indie atau demi sekedar bisa nyambung ngobrol dengan sesama pecinta musik 'bermutu' lainnya. Saya rindu masa SMA di mana saya pelajar miskin yang setiap siang sebelum les selalu mampir ke tempat teman yang punya kaset satu rak penuh demi mendengar koleksinya yang mungkin cuma bisa saya beli sebiji tiap bulan (makasih ya Tia, selalu kangen masa-masa itu). Saya rindu masa saya memainkan semua lagu yang saya suka (termasuk jingle iklan dan soundtrack Putri Huan Zhu) dengan keyboard atau rekorder sampai tetangga sebelah rumah muak. Saya rindu masa-masa pertama kalinya saya jatuh cinta pada John Mayer atau Bob Dylan tanpa punya pengetahuan cukup tentang musik mereka.

Saat ini, jujur saja saya sering menilai orang dari selera musiknya (yah wajar aja sih, mungkin sebagian besar pecinta musik juga begitu) dan saya sedang berusaha keras menghilangkan kebiasaan ini. Terlepas dari saya benci media (TV) yang mengekspos musik yang itu lagi-itu lagi, saya sesungguhnya berpikir tidak ada jenis musik yang boleh dianggap 'hina', karena bukankah musik itu sesungguhnya media berekspresi? Well, mungkin ada juga sih yang bermusik untuk uang (dan saya rasa itu yang bikin musisi dan penikmat musik 'beneran' gerah). Tapi saya tidak setuju dengan pelecehan terhadap musik apa pun, sesungguhnya, apalagi jika itu bukan karena kita beneran nggak suka (mungkin banyak yang udah say no duluan sebelum mendengarkan Smash) tapi karena opini orang lain, biarpun orang lain itu adalah majalah musik atau orang-orang keren di sekitar kita.

Yah, bagi saya juga, ini mungkin saatnya bertanya kembali, kapan terakhir kalinya membeli CD musik karena suka, bukan karena pengen sok-sokan beli CD asli musisi indie (ini bukan kegiatan yang jelek, mulia bahkan, hanya saja pastikan kita beneran suka musiknya, bukan karena gengsi-gengsian aja). Kapan terakhir kali saya membeli tiket konser karena benar-benar suka, bukan cuma karena semua teman juga nonton dan takut dianggap nggak keren. Mengunduh mp3 ilegal mungkin kejahatan ya terhadap si musisi, tapi kalau membeli CD asli, nonton konser, apalagi pura-pura ngefans padahal cuma demi gengsi, ini sih namanya kejahatan terhadap diri sendiri. Itu namanya pembunuhan karakter sendiri, itu yang namanya palsu dan tidak jujur pada diri sendiri. Dan adakah kejahatan yang lebih besar dari itu?

Comments

  1. ada! plus pura2 gape main musiknya padahal kagak :))

    ReplyDelete
  2. ahahahaha, ada ya org kek gt ron?

    ReplyDelete
  3. Tunggu. Saya lupa. Dulu SMA pernah ada tes uji coba untuk mengetahui apakah saya audio atau visual atau jenis yang lainnya. Saya lupa hasilnya. >.<'

    Dulu SMA saya suka lagu2 metal, sekarang selera musik saya berubah. Saya suka genre trance dan house, lagu untuk dugem. :D

    ReplyDelete
  4. Asop, selamat datang ya, thanks udah mampir :)

    Hehehe iya selera musik memang berubah terus seiring perkembangan jiwa kita (apa deh).

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku